Atas Nama Kesepian: Bumble dan Problematika Masyarakat Urban

Krisnaldo Triguswinri
Bukunya yang telah terbit: Jazz Untuk Nada (2016) dan Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta (2021) dan Hari-Hari Berbagi Api (2021).
Konten dari Pengguna
20 September 2022 13:06 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisnaldo Triguswinri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aplikasi Kencan Online. Foto: Aditia Noviansyah/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aplikasi Kencan Online. Foto: Aditia Noviansyah/ kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Budaya perjodohan meyelundup di dalam jejak antropologi masyarakat Indonesia hampir di pelbagai daerah. Bagi kebanyakan orang, budaya perjodohan merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan dan bahkan dirayakan lewat aktivitas kebudayaan: tradisi ciuman massal omed-omedan di Bali, tradisi kansoda’a oleh para perempuan di Wakatobi, tradisi kawin colong di Banyuwangi, hingga tradisi kawin lari di Lombok.
ADVERTISEMENT
Memori kolektif masyarakat tradisional Indonesia mengenal fasilitator perjodohan tersebut dengan istilah mak comblang. Mak comblang berfungsi sebagai perantara perjodohan karena diasumsikan berkontribusi mempertemukan dua individu untuk saling mengenal, membangun kedekatan personal, hingga berlabuh ke altar pernikahan.
Pola perjodohan tradisional di atas quote-unquote diambil alih oleh modernitas melalui rubik jodoh yang diamplifikasi melalui harian surat kabar (media cetak). Rubik jodoh di dalam surat kabar tersebut kemudian mendapatkan apresiasi massif dari masyarakat dan dibuktikan dengan banyaknya jumlah peserta yang bergabung mendaftar.
Revolusi teknologi di abad-21 yang kian hari kian inklusif, demokratis, dan easy of access membuat agenda masyarakat dalam mencari jodoh mengalami transformasi. Fungsi mak comblang dan rubik jodoh kemudian diakuisisi oleh Media Baru. Media Baru adalah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Contoh dari media yang sangat merepresentasi media baru adalah internet. Oleh karenanya perjodohan mengalami proses digitalisasi secara online melalui kanal-kanal aplikasi kencan yang dapat diunduh gratis di gawai setiap orang.
ADVERTISEMENT
Aplikasi kencan tersebut menghasilkan transisi relasional yang semula berlangsung di dunia nyata dan berpindah ke dunia virtual. Salah satu aplikasi kencan populer tersebut adalah Bumble. Sebuah aplikasi kencan yang diinisiatori oleh Whitney Wolfe Herd, seorang mantan developer Tinder. Herd mendirikan Bumble pada bulan Desember 2014 setelah mengalami pelecehan seksual saat ia masih bekerja di Tinder.
Berbeda dengan Tinder, aplikasi Bumble dirancang oleh Herd dengan perspektif yang lebih feminis: Bumbel berpihak pada kenyamanan perempuan dalam menggunakan aplikasi tersebut, perempuan dapat memulai percakapan heteroseksual secara aman karena dapat menyeleksi calon pasanganya, serta berupaya mengeliminir dominasi patriarki.
Sepanjang 2022, Bumble Statistics and Facts, merilis bahwa terdapat 100 juta pengguna di seluruh dunia dan 42 juta di antaranya adalah pengguna aktif aplikasi. Sejak Bumble diluncurkan ke publik, setidaknya tlah terucap 5000 ikrar pernikahan akibat pertemanan virtual tersebut.
ADVERTISEMENT
Cara kerja aplikasi ini relatif sederhana. Terdapat fitur ‘geser ke kanan’ yang berarti suka dan ‘geser ke kiri’ yang artinya tidak suka. Selain itu, bertengger profil yang dapat merepresentasikan identitas seseorang: biografi, hobi, musik yang mereka dengar, bahasa yang dikuasai, kegemarannya terhadap sesuatu, deskripsi ketubuhan, lokasi, hingga yang terabsurd, political compass.
Saya melakukan riset sederhana tentang aplikasi kencan (Bumble) yang berkorelasi dengan rasa kesepian masyarakat urban. Riset di dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara melalui random sampling. Objek wawancara dalam tulisan ini adalah 6 perempuan, berusia rata-rata 24 dan 25 tahun, berprofesi sebagai mahasiswi dan pekerja.
Sesuai permintaan para informan, nama mereka sebagai pengguna aktif Bumble saya samarkan. Tulisan ini juga tidak bermaksud menggeneralisir pengalaman para perempuan dalam menggunakan Bumble. Beberapa 6 perempuan tersebut antara lain adalah Wulan (24 tahun, mahasiswa S2), Livia (24 tahun, fashion designer), Ara (25 tahun, karyawan swasta), Ria (24 tahun, asisten manager), Ifa (24 tahun, interior designer), dan irma (25 tahun, pekerja swasta).
ADVERTISEMENT
Di dalam penggunaan aplikasi kencan seperti Bumble, motif pengguna sangat variatif. Tidak sekadar ingin mencari pasangan, tetapi ada juga yang ingin mencari teman diskusi, teman bersenang-senang, teman berlibur, dan sebagainya. Alasan para pengguna Bumble juga beragam dalam mengoprasikan aplikasi tersebut. Alasan Wulan dan Irma:
“Alasan aku, ya, mencari pasangan. Tapi aku pengen yang serius. Jadi kaya looking for serious only gitu. Tapi aku belum menemukan laki-laki yang serius sih di Bumble. Selain itu, aku pake Bumble karena circle pertemanan aku sempit buat nemui pasangan.” (Wawancara Wulan, 2 September 2022)
“Yang pertama, sepi banget. Kedua, aku pengen ngobrol sama stranger. Siapa tau ketemu jodoh, walaupun impossible ketemu jodoh di Bumble. Biar gak keinget mantan terus. Jadi setelah putus aku unduh Bumble deh.” (Wawancara Irma, 2 September 2022)
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Wulan dan Irma yang menggunakan Bumble dengan motif mencari jodoh. Liva, Ara, Ria dan Ifa justru menggunakan aplikasi tersebut sebagai ajang mencari teman, berdiskusi, hingga bertukar pengalaman.
“Pertama, aku gak punya temen. Kedua, aku suka ketemu orang baru, jadi bisa tahu banyak hal yang sebelumnnya aku gak tahu karena ketemu orang baru buat aku jadi tahu banyak hal. Seru sih ketemu orang baru, jadi bisa memahami karakter orang juga.” (Wawancara Livia, 2 September 2022)
“Alasan sesungguhnya banget buat pengalihan, need someone to talk to biar aku ada temen ngobrol karena waktu itu aku susah move on. Alasan yang kedua, aku suka ngobrol dua arah sama orang baru, tapi bukan ngobrol in public, ya. Ngobrol in person selalu ada kepuasan tersendiri.” (Wawancara Ara, 3 September 2022)
ADVERTISEMENT
“Satu hal yang paling mendasar aku main Bumble karena aku mencari teman untuk hangout sih.” (Wawancara Ria, 4 September 2022)
“Aku instal Bumble karena ada temenku instal aja. Temenku ini sampe jalan sama kenalannya di Bumble dan akhirnya pacarana. Seru, kan? tapi alasan utamaku bukan buat nyari pacar tapi pengen nambah relasi. Kemaren pas banget aku pusing nyari kerja, banyak waktu luang, dan aku gunain buat ngulik-ngulik kerjaan temen-temen Bumble aku. barangkali dari dating app aku dapat relasi kerja. Bisa berbagi pengalaman pribadi masing-masing.” (Wawancara Tifa, 5 September 2022)
Pertemuan online via Bumble tersebut seringkali tidak berjalan paralel. Berdasarkan keterangan para informan perempuan dalam riset ini, terdapat sekelindan problematika yang tidak mengenakan dan agaknya menyebalkan. Dari pemalsuan identitas ke pelecehan, dari urusan ke-stranger-an hingga isu per-ghosting-an. Ketika saya mengajukan pertanyaan kepada Livia dan Tifa menyoal pemalsuan identitas dan pelecehan–mereka cendrung bijaksana dalam merespon hal tersebut:
ADVERTISEMENT
“Kalau pada akhirnya ada laki-laki di Bumble yang menggunakan identitas palsu, ya, aku gak berfikir gimana-gimana sih. Itu hak mereka, kan? tiap orang juga punya alasannya sendiri buat menutupi identitasnya. Mungkin dia punya trauma, dan mungkin juga dia gak pengen orang lain tahu soal identitasnya dia. Jadi, kalau pun orangnya memalsukan nama atau identitas mereka, selagi mereka gak ganggu dan ngurusin hidup aku, ya, its okey aja.” (Wawancara Livia, 2 September 2022)
“Beginilah namanya sosmed (sosial media), kadang bisa dapat yang baik dan sopan, tapi kadang dapat cat calling juga. Tergantung kitanya aja sih buat bawa diri.” (Wawancara Tifa, 5 September 2022)
Pertanyaan serupa juga saya ajukan ke Wulan, Ria dan Ara terkait dengan isu per-ghostingan-an serta respon terhadap para strangers yang mereka kenal secara virtual selama berselancar di aplikasi kencal Bumble:
ADVERTISEMENT
“Bagi aku yang adalah perempuan bahaya juga ketika ketemu sama stranger. Jadi bukan berarti aku bertemu sama semua laki-laki yang aku kenal dari Bumble. Tapi sejauh ini aku nemui cowok yang bagi aku bisa nambah relasi aja. Misalnya, dianya sesuai sama pendidikan aku. Agak gak adil sih, cuma kalau jujurnya begitu. Aku juga gak mau nemui yang asal-asalan. Kalau soal ghosting sih sejauh ini aku belum ngerasain deket intensif sama anak Bumble. Jadi aku belum pernah ngerasain dighosting.” (Wawancara Wulan, 2 September 2022)
Gak pernah sih. Karena aku juga pure cari temen jadi belum pernah ngerasain dighosting.” (Wawancara Ria, 4 September 2022)
“Now answer me, are u ok? Cause so far, tho we are never meet before, youre the one who ghosted me!” (Wawancara Ara, 3 September 2022)
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Okcupid, secara umum dan populer, memang terdapat beberapa motivasi primer bagi mereka yang menggunakan aplikasi kencan seperti Bumble. Pertama, hookup, yaitu berhubungan seks dengan seseorang, dilayani atau melayani kebututuhan biologis tersebut satu sama lain, dan tanpa melibatkan perasaan emosional dan ikatan komitmen berjangka panjang.
Kedua, short-term relationship, yaitu hubungan yang bersifat sementara yang, misalnya, di dalam pengertian Indonesia kontemporer bisa diartikulasi sebagai keperluan seseorang untuk healing atau staycation. Ketiga, new friends, yaitu pertemanan baru yang mengandaikan seseorang bisa berdiskusi dan bertukar pengalaman satu sama lain. keempat, long term relationship, yaitu hubungan jangka panjang yang serius dan melibatkan intensi yang lebih emosional dan mendalam.
Problematika Kesepian
Seorang filsuf sekaligus psikolog sosial asal Jerman, Erich From, berupaya mempresentasikan dengan rigid masalah kesepian yang seringkali mengidap manusia. Secara generik, Fromm mengemukakan pandangannya bahwa permasalahan rasa sepi terjadi karena manusia terpisah atau berjarak secara spasial dengan manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu bukunya yang terkenal, Escape From Freedom (1941), Fromm melaporkan tesisnya bahwa terdapat setidaknya 3 dasar kebutuhan manusia yang harus dipenuhi: kebutuhan untuk berhubungan, kebutuhan untuk bertransendensi dan kebutuhan untuk diakui identitasnya,
Saya meradikalisir tesis Fromm di atas sambil membuat intepretasi kontekstual terhadap kebutuhan dasar para pengguna Bumble. 6 informan perempuan di dalam tulisan ini bersepakat bahwa hal paling mendasar yang mendorong mereka menggunakan aplikasi tersebut adalah rasa sepi.
Pertama, defisitnya aspek komunikasi seseorang terhadap seseorang yang lain kemudian menjadi rangsangan utama mereka membangun hubungan sosial, biologis, atau romantis via aplikasi kencan. Bagi Fromm, bila relasi komunikatif ini tidak terpenuhi, maka seseorang tersebut akan menjadi psikotik atau sakit mental.
ADVERTISEMENT
Implikasi atas hal tersebut bisa menjadi sangat beragam: gangguan kecemasan berlebihan, overthinking, rasa depresi, insomnia, delirium, bahkan bunuh diri. Kebutuhan komunikasi ini sangat mendasar, karena kebutuhan fisiologis seperti rasa sayang, ketenangan, penerimaan, dan intimasi tidak akan terpenuhi tanpa adanya komunikasi.
Kedua, aspek transendensi di dalam isu utama tulisan ini terpaksa saya eksklusi dari pengertian literal dan keterangan filosofis atas terminologi kritisnya. Transendensi di sini saya artikulasi sebagai kebutuhan untuk mengatasi pemusatan diri, alienasi, isolasi, dan kredo “orang lain adalah neraka” dalam hubunganya dengan orang lain.
Sebagai contoh, pada suatu ketika yang menyebalkan, saya pernah terjebak pada problem transendensi ekstrim karena terlalu tersihir oleh penjara pumusatan diri, alienasi, isolasi dan anggapan bahwa ‘orang lain adalah nereka’ ketika berhadapan dengan masalah kesehatan mental. Rasa sepi akibat ketidakmampuan saya keluar dari penjara pumasatan diri membuat saya mengalami perubahan prilaku, gangguan mood, delusi, ketergantungan alkohol, dan cara berfikir yang membingungkan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mengizinkan orang lain monolong saya dan menolak bergantung pada bantuan medis para professional. Saya hanya percaya dan bergantung pada diri saya sendiri. Saya menulis:
“Aku tidak mengizinkan kalian menolongku. Ya, walaupun aku juga tahu, bahwa kalian tidak akan pernah peduli pada mereka yang mengidap mental illness. Karena bagiku, kalian juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang depresif. Aku serius menuduh ini. Tidak ada obat. Tidak ada pertolongan professional. Aku bisa menolong dan membebaskan diriku sendiri.”
Ketiga, kebutuhan seseorang untuk diakui identitasnya menjadi sangat berimplikasi pada terbebasnya seseorang dari rasa sepi. Branden (2001) mengatakan bahwa harga diri dan identitas yang dimiliki oleh seseorang merupakan sesuatu yang berkontribusi di dalam membangun rasa kepercayaan diri dan penghormatan diri.
ADVERTISEMENT
Harga diri mempunyai aspek yaitu, a sense of personal efficacy (self-efficacy) dan a sense of personal worth (self-respect). A sense of personal efficacy (self-efficacy) adalah keyakinan individu atas kemampuannya untuk memahami fakta-fakta realitas yang berada dalam ruang lingkup minat, kebutuhan pribadi, kepercayaan diri serta kemandirian.
Sedangkan a sense of personal worth (self-respect) merupakan sikap afirmatif terhadap hak-hak individu untuk hidup dan menjadi bahagia, kenyamanan dalam mengungkapkan pendapat, keinginan dan kebutuhan pribadi serta perasaan bahwa kebagiaan merupakan hak alamiah yang dimiliki.
Menurut Perlman & Peplau (1982) terdapat faktor penyebab dari kesepian yang dibagi menjadi dua faktor yaitu predisposing factors dan precipitating event factors. Predisposing factors dapat mencakup karakteristik orang tersebut. Misalnya, rendahnya harga diri, rasa malu, dan kurangnya ketegasan. Sedang karakteristik situasi, misalnya, kurangnya sumber daya, lingkungan yang kompetitif, dan nilai budaya umum, seperti individualisme. Precipitating event factors adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesepian seperti perpisahan hubungan atau pindah ke komunitas baru yang mengubah kehidupan sosial seseorang dengan cara yang signifikan.
ADVERTISEMENT
“Aku unduh Bumble setelah aku putus sama mantanku. Kaya kosong aja gitu biasanya ada yang chat tapi ini gak ada yang chat.” (Wawancara Wulan, 2 September 2022)
“Aku pendatang dan gak ada satu pun temen di sini.” (Wawancara Ria, 4 September 2022)