Membaca Ulang Jürgen Habermas

Krisnaldo Triguswinri
Bukunya yang telah terbit: Jazz Untuk Nada (2016) dan Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta (2021) dan Hari-Hari Berbagi Api (2021).
Konten dari Pengguna
4 Desember 2023 16:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisnaldo Triguswinri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tokoh-Tokoh Penting dalam Teori Kritis. Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tokoh-Tokoh Penting dalam Teori Kritis. Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Olga Filatova, Yury Kabanov, dan Yuri Misnikov (2019) mengupas deliberasi publik di Rusia dengan sebuah tren yang mengandaikan transformasi diskursus publik dari luring ke daring di dalam demokrasi. Penelitian tersebut berupaya melihat konsep Habermasian tentang klaim validitas di dalam diskusi online dalam menilai kualitas deliberasi melalui argumentasi dan interaktivitas yang berkembang di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Temuan penelitian ini menarik karena ruang digital sebagai ruang publik baru berhasil mengakomodasi perbincangan politik sehari-hari dari masyarakat biasa. Ruang publik baru tersebut sudah dibahas sebelumnya oleh Manuel Castells (2008) dalam artikelnya yang beranggapan bahwa ruang publik tidak sekadar mengalami transisi dari luring ke daring, tetapi juga dari nasional ke global. Hal tersebut juga menjelaskan mengapa fenomena masyarakat sipil dan kebijakan publik tidak sekadar menjadi masalah nasional atau lokal, tetapi juga internasional.
Di era digital hari ini hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil di dalam ruang publik seringkali mendorong peranan masyarakat internasional untuk terlibat di dalamnya. Sebagai contoh, isu perubahan iklim tidak lagi menjadi isu lokal, tetapi juga menjadi isu global. Kebakaran hutan di Kalimantan tidak sekadar membuat masyarakat Dayak di pedalaman marah, tetapi juga menjadi kemarahan masyarakat Eropa dan Amerika.
ADVERTISEMENT
Bila dalam penelitian Filatova (2019) ruang publik baru dapat diakses oleh orang biasa untuk membicarakan pelbagai fenomena sosial dan politik dengan santai, dalam penelitian Castells (2008) bahkan perbincangan sosial dan politik yang santai tersebut, dengan jaringan komunikasi yang terbuka, dapat bertransformasi menjadi pembicaraan masyarakat internasional.
Perubahan sosial ke dalam masyarakat digital merupakan gejala sosiologis dari modernisasi. Ruang publik baru menjadi sangat inklusif karena ia dapat diakses oleh semua kalangan dan, ini bertolak dari konsepsi ruang publik borjuis Habermas yang menganggap bahwa ruang publik tadinya hanya sekadar dapat diakses oleh kelompok aristokrat atau kelas menengah untuk membicarakan politik dan ekonomi.
Namun, dalam pengertiannya yang kontemporer hari ini, ruang publik baru dapat mendigitalisasi opini publik lintas kelas dan lintas negara dalam mengintervensi kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Dewi Kartika dan Royke R. Siahainenia (2015) menyebut terminologi ruang publik baru tersebut dengan istilah ruang publik virtual. Masyarakat virtual merupakan konstruksi komunikatif dan interaksi di antara warga negara tanpa batas etnis, agama serta ideologi.
Selain itu, basis materil yang memfasilitasi ruang virtual tersebut dapat menjadi corong yang menumbuhkan entitas yang bebas dalam mengembangkan percakapan publik ketika merespon fenomena ketidakadilan, monopoli, serta manipulasi negara dan pasar terhadap masyarakat sipil.
Bagi masyarakat virtual, relasi di antara negara, pasar, dan masyarakat sipil tidak lagi diatur melalui narasi atau hegemoni kekuasaan dalam membangun jaringannya. Atas dasar tersebut, masyarakat virtual di dalam ruang publik baru dapat disebut sebagai sebuah perkumpulan yang inklusif dan secara rasional dapat memobilisasi diri dan secara kolektif memperjuangkan democratization of everyday life.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Castells (2008), Filatova (2019), Bernard Enjolras serta Kari Steen-Johnsen (2017), dan Dewi Kartika Sari (2015), Kadarsih (2008) mengajukan kritik bahwa selama media massa dan ruang publik tidak memiliki kemandirian dan bebas dari dominasi kekuasaan dan pasar, maka ia akan senantiasa terkooptasi dan tidak akan menjadi infrastruktur yang demokratis untuk mengintervensi kebijakan publik.
Ia juga memberikan peringatan bahwa kita semua harus tetap waspada sejauh apa peran media massa sebagai ruang publik baru terlepas dari dominasi kelompok kepentingan tertentu dalam memberikan akses berimbang kepada publik secara umum.
Hal tersebut mengingatkan kita bahwa, dalam diskursus ruang publik, formasi opini publik yang ditampilkan di dalam media massa harus lepas dari kontrol kendali kekuasaan, modal, primodialisme, ataupun kepentingan ekonomi dan politik lainnya. Dengan begitu ruang publik melepaskan dirinya dari kategori di atas, maka ia akan benar-benar menjadi ruang publik baru yang otonom.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak penelitian, ruang publik selalu diasosiasikan sebagai instrumen primer demokrasi. Clemens (2010) menggunakan konsepsi ruang publik sebagai pendekatan komparasi dan historis untuk melihat sejauh mana signifikansi wacana publik tersebut dapat mengintervensi kebijakan yang demokratis.
Hal tersebut dijawab oleh Dale Paju (2015) yang melakukan riset panjang tentang otoritarianisme di Indonesia. Menurutnya, emansipasi demokrasi pasca-otoritarianisme di Indonesia berlangsung signifikan dikarenakan ruang publik membasiskan aktivitasnya pada kesetaraan dan solidaritas.
Hal tersebut dikonfirmasi pula oleh Penelitian David G. Levasseur dan Diana B. Carlin A (2001) pada Tahun 2001. Menurut mereka, ruang publik yang inklusif memang menjadi salah satu instrumen yang dapat, tidak hanya mampu melahirkan demokrasi, namun juga menjaga marwah demokrasi. Bila ruang publik sehat, maka demokrasi akan sehat. Sebaliknya, bila ruang publik itu eksklusif, maka dengan sendiri demokrasi akan ikut menyempit.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian lainnya yang berimplikasi pada partisipasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan menyebutkan bahwa ruang publik sebagai ruang yang komunikatif dapat menjadi pendekatan yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan kebijakan (Patrizia Nanz dan Jens Steffek, 2004; Michael Mintroom, 2004; Tammasco Rondinella dkk, 2015; Heejin Han, 2014).
Secara etimologi, kemunculan ruang publik sejak awal memang diandaikan sebagai arena diskursus partisipasi masyarakat sipil yang, menurut Habermas (2012; 130) berfungsi sebagai ruang informal untuk mengintervensi ruang formal, seperti eksekutif dan parlemen yang mandasarkan legitimasinya berdasarkan dukungan publik.
Patrizia Nanz dan Jens (2004) mendefinisikan ruang publik dan partisipasi tersebut sebagai legitimasi demokratis yang dapat memberikan keleluasaan warga negara untuk memutuskan sendiri kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Senada dengan keterangan tersebut, Mintrom (2003) menjustifikasi bahwa ketidakefisienan dan kelemahan administrasi birokrasi dapat diselesaikan dengan masukan serta kritikan yang berasal dari diskurus masyarakat di dalam ruang publik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Tommaso, dkk (2015) memberikan gambaran alternantif bahwa krisis demokrasi di dalam banyak negara dapat diatasi dengan menerapkan prosedur partisipatif dan pembentukan kebijakan yang dihasilkan melalui musyawarah publik. Dalam konteks ini, masyarakat sipil dapat memberikan kontribusi mendasar dalam hal merangsang partisipasi sosial, aktivasi sumber daya, berbagi sumbangan informasi dan pengetahuan, sehingga melahirkan gagasan bersama tentang kemajuan dan kesejahteraan.
Secara komperhensif para peneliti ini berkesimpulan bahwa ruang publik penting sebagai legitimasi demokratis yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan lokal maupun nasional. Bahkan Heejin Han (2014) mengajukan kritik dalam penelitiannya tentang ruang publik yang tertutup di bawah rezim otoriter China dan mendorong masyarakat sipil Tiongkok untuk memberikan tekanan dari bawah ke atas untuk mendemokratisasi ruang publik sehingga dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan yang transparan dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Seperti Heejin Han (2014) yang cemas terhadap kondisi masyarakat sipil di Cina, Dadi Junaedi Iskandar (2015) secara implisit membahas tentang pentingnya dialog dan debat publik dalam menghasilkan produk kebijakan publik. Dalam artikelnya, Junaedi mensyaratkan kesehatan demokrasi dengan mengandaikan partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan publik yang, dalam pengamatannya, bila partisipasi masyarakat di dalam pembuatan kebijakan terabaikan, maka wajar muncul protes dan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Hal itu mengandaikan hilangnya public trust kepada pemerintah sehingga melahirkan defisit legitimasi.