Konten dari Pengguna

Ruang Gerak Kartu Vaksin

Kristianto Naku
Saya Kristianto Naku (Penulis Daring dan Blogger). Saya menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 2020, saya menyelesaikan studi Program Bakaloreat Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
23 Agustus 2021 21:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4, kini kebijakan baru dipublikasikan. Kebijakan baru mewajibkan semua warga yang hendak berpergian keluar rumah, entah ke pusat perbelanjaan, tempat wisata, restoran, tukang cukur, atau perpindahan ke satu tempat karena tugas, menunjukkan kartu vaksin. Kartu vaksin menjadi extra ticket seseorang diperbolehkan atau tidak melangkahi perjuangan bersama melawan pandemi virus corona. Bagaimana sebetulnya ruang gerak kartu vaksin di tengah masyarakat?
ADVERTISEMENT
Antara Aturan dan Kebutuhan
Setiap hari, kita memiliki kebutuhan yang tak biasa diprediksi. Sehari atau seminggu, seorang ibu rumah tangga pasti mempunyai kebiasaan untuk membelanjakan kebutuhan rumah tangga. Selain kebutuhan berbelanja kebutuhan rumah tangga, ada pula kebutuhan untuk berjualan.
Kartu vaksin menjadi syarat perjalanan di masa pandemi Covid-19. Foto: https://ekbis.sindonews.com/.
Para pedagang, misalkan, akan berangkat pagi-pagi ke lokasi jualan untuk menjajakan barang jualannya. Semua aktivitas ini, ketika “dijewer” kebijakan baru untuk menunjukkan kartu vaksin, pasti mengalami kandala. Posisi di antara pun sungguh menagih dilema.
Pertama, antara kebutuhan dan ketiadaan kartu vaksin. Mereka yang tak memiliki kartu vaksin tentunya dilatarbelakangi beragam alasan. Ada yang belum memiliki kartu vaksin karena belum divaksin dan ada pula yang belum divaksin karena pilihannya personal (karena riwayat penyakit berbahaya).
ADVERTISEMENT
Semua orang, dalam hal ini, pasti menunjukkan alasan kenapa belum divaksin. Akan tetapi, bagaimana dengan tuntutan untuk menunjukkan kartu tanda sudah divaksin? Apakah kartu vaksin yang ditunjukkan juga benar-benar akurat?
Dalam dunia bisnis, keuntunganlah yang dikejar. Jika syarat masuk pusat perbelanjaan harus memperlihatkan kartu vaksin, litani dilema pun berkecamuk. Dari sisi si penjual, ia tak mau barang dagangannya tak laku terjual hanya karena alasan si pembeli tak memiliki kartu vaksin.
Padahal yang terjadi di tempat jualan adalah interaksi antara si penjual dan pembeli, antara tunai dan barang dagangan. Pembeli tidak membayar barang belanja dengan menunjukkan kartu vaksin. Sedangkan, dari sisi si pembeli, kebutuhan menjadi prioritas utama. Dalam hal ini, duel kebutuhan versus aturan, tak sepenuhnya dapat dilerai.
ADVERTISEMENT
Kedua, antara aturan dan jaminan keakuratan data kartu vaksin. Pertanyaan kritis terkait pemberlakuan kebijakan tunjuk vaksin adalah siapa yang menjamin secara berkala (mampu mengecek secara akurat) bahwa setiap warga yang berpergian benar-benar sudah divaksin? Apakah kartu vaksin yang ditunjukkan benar-benar akurat atau palsu?
Ketika sistem tunjuk vaksin itu ditopang oleh teknologi – melalui aplikasi Peduli Lindungi – ketakutan terkait keakuratan data perlu diperlebar. Kita tak bisa sepenuhnya percaya kepada setiap warga masyarakat bahwa data yang mereka tunjukkan memang benar-benar akurat.
Di restoran, misalkan, para petugas pengecek mungkin akan lebih memprioritaskan pengecekkan suhu tubuh katimbang kartu vaksin. Hal ini bisa saja terjadi kalau masing-masing kita tidak terlalu telitih, ceroboh, dan takut terpapar virus corona. Spontanitas proses pengecekan pun bisa saja dinilai kurang maksimal.
ADVERTISEMENT
Belajar dari kecurangan yang terjadi saat even akbar Piala Eropa pada Juli 2021 lalu, banyak penonton lolos masuk ke tribun dengan data-data yang kurang akurat. Berbekal nekat dan keberanian, ditambah massa membeludak, sistem pengecekan pun rubuh. Kita tak sepenuhnya percaya bahwa kebijakan-kebijakan yang notabene baru mampu memperkuat kancing sistem protokol kesehatan melawan pandemi virus corona.
Ketiga, antara kartu vaksin dan kebebasan berpergian. Ketika kebijakan tunjuk kartu vaksin ditagar di media sosial dan ruang publik, kita pun was-was jangan-jangan semua merasa bebas untuk berkeliaran. Opsi menunjuk kartu vaksin, di satu sisi mampu menekan keinginan untuk berpergian dan beraktivitas di luar rumah.
Akan tetapi, di sisi lain, opsi menunjukkan kartu vaksin sebagai tiket jalan, justru menjadi alasan seseorang dengan bebas untuk keluar rumah. Jangan heran jika aktivitas di luar rumah dan pandemi kerumunan mulai bergerak hanya karena masing-masing orang mampu menunjukkan kartu vaksin. Hal ini tentunya menjadi satu dilema baru, terutama ketika kita semua masih dalam tahap gempurnya melawan pandemi virus corona.
ADVERTISEMENT
Akurasi Cara Lama
Ketika virus corona mulai dilabeli pandemi, cara-cara akurat yang diakui, disetujui, dan dipublikasikan melalui sebuah penelitian yang ilmiah viral didaratkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan cara-cara sederhana tetapi mujarab, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Cara-cara konvensional ini masih relevan dan terbukti berhasil ketika diterapkan.
Cara lama yang akurat memang memberi kontribusi berharga bagi proses penanganan pandemi. Jika hal ini dibiasakan dan dilakukan dengan sadar – untuk keselamatan bersama – hemat saya, upaya kita melawan pandemi akan membuahkan hasil. Cara lama meski sederhana adalah strategi yang paling mahal yang tak semua orang bisa lakukan.
Indeks kemahalan cara ini ditinjau dari seberapa banyak orang yang mau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Problemnya pun terlihat: semakin ribet aturan, semakin banyak orang yang berusaha mematuhinya. Akan tetapi, semakin sederhana aturannya, semakin banyak orang yang menyepelakannya. Padahal yang sederhana sudah pasti memberi efek dan efisien membantu.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tunjuk kartu vaksin, jika ditelusuri, kadang melalaikan protokol kesehatan yang seharusnya. Ketika orang fokus pada pengecekkan kartu vaksin, strategi penanganan dengan senjata 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker) tidak lagi diutamakan. Orang dibiarkan berkerumun dan masuk ke ruang publik tanpa cuci tangan, asal berbekal kartu vaksin. Peduli lindungi, dalam artian tertentu bisa saja berubah menjadi peduli aturan semata.