Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tuna Etika Pemimpin KPK
2 September 2021 18:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ksatria Surbakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah merosotnya tingkat kepercayaan terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masyarakat harus kembali mengelus dada dengan dijatuhkannya sanksi pelanggaran etik berat terhadap Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli Siregar , oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Senin, 30 Agustus 2o21.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Dewas KPK , Lili terbukti melanggar prinsip integritas dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK karena dua hal. Pertama, menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M. Syahrial yang merupakan terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap penyidik KPK. Kedua, menyalahgunakan pengaruh sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan penyelesaian kepegawaian adik iparnya dengan menekan terdakwa M. Syahrial. Atas kedua pelanggaran tersebut. Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Menormalisasi Pelanggaran Etik
Sekadar merawat kembali ingatan, ini bukan kali pertama pimpinan KPK periode 2019-2022 dijatuhi sanksi pelanggaran etik oleh Dewas KPK. Pada 24 September 2020 lalu, Dewas KPK pernah menjatuhkan sanksi pelanggaran etik ringan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri terkait gaya hidup mewah saat menggunakan helikopter sewaan untuk perjalanan pribadi.
ADVERTISEMENT
Bahkan sebelum terpilih sebagai Ketua KPK dan Dewas KPK belum terbentuk, pada September 2019 Firli juga dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik berat oleh KPK karena diduga melakukan sejumlah pertemuan dengan pihak-pihak yang berperkara di KPK saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Dijatuhkannya sanksi kode etik terhadap beberapa pimpinan KPK seolah-olah memudarkan arti pentingnya keluhuran etika pejabat publik bagi para pemimpin KPK di dalam semangat pemberantasan korupsi. Pelanggaran etik kian menjadi sesuatu yang dinormalisasi. Seyogianya, pemimpin KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi harus bebas dari pelanggaran kode etik agar dapat menunjukkan marwah lembaga pemberantasan korupsi yang bermartabat, dapat dipercaya, independen dan bebas dari konflik kepentingan (conflict of interest).
Sejatinya, tujuan dibentuknya Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK adalah sebagai jaring pengaman bagi KPK untuk tetap menjaga independensinya dari pengaruh pihak mana pun dan mengantarkannya untuk teguh melakukan tugas mulia pemberantasan korupsi berdasarkan hal-hal yang objektif yang bebas dari faktor-faktor subjektif. Panglima perang korupsi sejatinya harus menjadi role model yang dapat dipercaya di lembaga yang ia pimpin, terlebih bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari pelanggaran-pelanggaran etik yang dilakukan oleh pemimpin KPK, tampaknya politik transaksional sudah dianggap menjadi hal yang lumrah terjadi, bahkan bagi lembaga anti rasuah sekalipun. Etika menjadi semakin terpinggirkan di antara para pejabat di republik ini!
Etika Politik dan Pemerintahan
Apabila kita merujuk pada nilai-nilai etika politik dan pemerintahan yang termakhub dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, telah ditegaskan bahwa setiap pejabat dan elite politik harus siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Para pejabat publik harus menjaga standar etika jabatannya dan berani mundur apabila tidak mampu menjalankannya.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan pejabat publik akan pentingnya menjaga keseluruhan etika dan menjauhi perilaku koruptif. Kita harus menyadari bahwa keadaan bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam darurat
ADVERTISEMENT
korupsi yang mengalami degradasi etika yang kian mencapai titik nadir.
Pemimpin KPK Tuna Etika
Bangsa Indonesia saat ini kekurangan sosok berintegritas yang bisa dijadikan sebagai panutan. Kita mengalami krisis pejabat publik yang mampu memberi teladan bagi masyarakat. Padahal nama-nama besar yang harum dalam ingatan masyarakat hingga sekarang adalah para pejabat publik yang tulus mengabdi pada kepentingan rakyatnya. Sementara mereka yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan materi terbukti bernasib mengenaskan. Mereka miskin nama baik, bahkan secara faktual dimiskinkan oleh jeratan pidana.
Pertanyaan yang sekarang menarik untuk diajukan adalah, apakah Lili Pantauli Siregar yang telah terbukti melakukan pelanggaran etik berat berani mundur dari jabatannya? Atau justru merasa mahfum dengan noda yang berhasil ditorehkan di wajah KPK?
ADVERTISEMENT
Mungkin sudah saatnya jika slogan KPK yang terkenal dengan “Berani Jujur Hebat!”, diubah menjadi “Berani Mundur Hebat!”, sehingga para pemimpin KPK dapat sejenak diingatkan untuk bercermin dan bermawas diri.
Para pemimpin KPK, jangan menjadi tuna etika!