news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

4 Akar Masalah yang Bikin Tiket Pesawat Mahal

16 Juni 2019 18:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo berencana mengundang maskapai asing untuk berbisnis di Indonesia. Usulan ini dia sampaikan untuk merespons harga tiket pesawat domestik yang tak kunjung turun.
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini menilai, rencana tersebut merupakan jalan instan yang berbahaya bagi sektor industri penerbangan dalam negeri. Dari sisi ekonomi, kehadiran maskapai asing bisa membuat neraca berjalan dalam negeri jebol.
“Jika pemerintah ngotot memasukkan maskapai asing ke dalam negeri, dampaknya ke dalam sistem ekonomi akan rapuh, di mana pendapatan primer di neraca berjalan akan lebih jebol lagi dan semakin buruk dalam jangka menengah,” kata dia dalam diskusi online INDEF, di Jakarta, Minggu (16/6).
Masuknya maskapai asing ke Indonesia bukan seperti barang modal yang diimpor lalu diolah menjadi barang jadi di dalam negeri agar nilai jualnya meningkat. Menurut Didik, investasi asing yang masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi pasar dalam negeri adalah investasi yang buruk bagi ekonomi nasional, sebab tidak untuk diekspor dan tidak menghasilkan devisa bagi negeri.
ADVERTISEMENT
“Hasil investasi akan menjadi outflow ke luar dan menggerus devisa Indonesia seperti sekarang. Dalam jangka menengah dan panjang, kebijakan ini merugikan ekonomi nasional dan pemerintahan berikutnya akan cuci piring kotor,” tutur Didik.
Konten Krispi, Jokowi Akan Undang Maskapai Asing. Foto: kumparan
Karena itu, Didik mengungkapkan, jika ingin menyelesaikan masalah bisnis penerbangan saat ini, harus dimulai dari akarnya, bukan lantas mengambil jalan pintas mengundang maskapai asing dengan alasan agar harga tiket pesawat menjadi kompetitif. Masalah yang harus diurai, kata dia, adalah dugaan kartel yang dilakukan dua pemain besar yakni Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.
Kartel yang dimaksud adalah penyesuaian-penyesuaian harga yang menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik. Penyesuaian itu terlihat dari pola perubahan harga penerbangan. Satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti dengan menaikkan harga. Sebaliknya, satu maskapai menurunkan, satu lagi akan ikut menurunkan.
ADVERTISEMENT
Ekonom INDEF Nailul Huda mengatakan, sebelum Jokowi mengambil keputusan pintas mengundang maskapai asing, ada 4 masalah yang harus diselesaikan lebih dahulu.
Pertama, inefisiensi penerbangan nasional. Hal ini bisa dilihat dari harga yang tidak turun meskipun sebagai besar maskapai domestik di Asia Tenggara menurunkan harganya. Menurut data INDEF, hanya maskapai asal Indonesia yang menaikkan harga di tengah-tengah penurunan harga di penerbangan domestik di Asia Tenggara.
Salah satu alasannya, kata dia, adalah tingkat keterisian yang belum mencapai Breakeven Load Factor (BLF). Padahal tingkat keterisian rata-rata maskapai di Indonesia sudah 78 persen, melebihi rata-rata BLF maskapai di Asia Pasifik.
“Artinya sudah sewajarnya mendapatkan keuntungan, tapi yang terjadi adalah kenaikan harga dengan alasan masih merugi,” kata Nailul.
Ilustrasi penumpang di kursi pesawat Foto: Shutter Stock
Belum lagi, harga avtur juga menjadi kambing hitam oleh teman-teman maskapai. Padahal, harga avtur Indonesia lebih murah dibandingkan Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Masalah kedua adalah pembiaran pengkonsentrasian pasar dan monopoli power. Sejak tahun 2010, nyaris tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik. Akibatnya tingkat konsentrasi hanya terfokus pada dua grup penerbangan besar domestik yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.
Kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar nasional. Terlebih pada tahun kemarin ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia yang menyebabkan tingkat konsentrasi dua perusahaan besar menjadi 96 persen.
Monopoli power perusahaan penerbangan meningkat pada low season di tahun 2019. Pada low season, dahulu harga ditentukan oleh proses permintaan dan penawaran di pasar, namun saat ini perusahaan bebas menentukan harga dan masyarakat tidak mempunyai daya tawar dan pilihan lainnya. Akibatnya, ukuran monopoli power (dilihat dari lerner index) meningkat di low season antara tahun 2018 dan 2019.
Ilustrasi sayap pesawat yang sedang mengudara Foto: Shutter Stock
Masalah ketiga, peningkatan Tarif Batas Bawah (TBB). Alih-alih menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) pada awal isu harga ini muncul, pemerintah justru menaikkan TBB penerbangan domestik dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari batas atas. Kenaikan ini beralasan untuk melindungi perusahaan. Namun masalahnya adalah perusahaan mana yang dilindungi ketika hanya ada dua grup perusahaan saja yang bermain dalam penerbangan domestik.
ADVERTISEMENT
“Alasan tersebut sangat klise mengingat tidak adanya perusahaan yang perlu perlindungan. Justru perusahaan maverick (penggangu bagi kartel) yaitu AirAsia dihilangkan dari Travel Online Agent (TOA) yang diduga ada desakan dari pelaku kartel,” katanya.
Masalah keempat, pembiaran pengambilalihan maskapai. Nilai Herfindhal-Hirschman Index (HHI) akibat adanya pengambilalihan Sriwijaya oleh Garuda Indonesia adalah 4624 atau bertambah lebih dari 200. Ini patut dipertanyakan karena batasan pertambahan HHI akibat adanya pengambilalihan adalah 200.
Permasalahannya adalah pengambilalihan Sriwijaya Group juga dinilai telah menghilangkan kompetitor yang bisa menjadi pengganggu dan pesaing utama Garuda Indonesia dan Lion Air Group.
"Penggabungan ini untuk meningkatkan kolusi dan koordinasi. Tinggal AirAsia sendiri yang bersaing dengan dua maskapai besar di Indonesia," katanya.
ADVERTISEMENT