Alvin Lie: Harga Tiket Pesawat Harus Wajar, Bukan Berarti Murah

18 Mei 2019 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner Ombudsman Alvin Lie  Foto: Mustaqim Amna/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner Ombudsman Alvin Lie Foto: Mustaqim Amna/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Melonjaknya harga tiket pesawat menjadi isu utama industri penerbangan Indonesia sejak awal tahun ini. Banyak masyarakat yang protes, pemerintah diminta untuk bertindak soal mahalnya harga tiket pesawat.
ADVERTISEMENT
Kementerian perhubungan sebagai regulator kemudian mengeluarkan kebijakan penurunan tarif batas atas sebesar 12-16 persen pada Kamis (16/5). Padahal sebelumnya, Kemenhub telah menaikkan tarif batas bawah sebesar 35 persen.
Polemik soal harga tiket pesawat ini juga menjadi perhatian Anggota Ombudsman RI dan pengamat penerbangan Alvin Lie. Dalam kesempatan perbincangan dengan kumparan melalui sambungan telepon, Alvin membeberkan pandangannya terkait polemik harga tiket pesawat.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bagaimana pandangan Anda terkait kebijakan Kemenhub Penurunan Tarif Batas Atas?
Pertama gini, kalau menurunkan TBA (Tarif Batas Atas) itu harus menggunakan peraturan menteri, karena TBA dan TBB (Tarif Batas Bawah) ditetapkan peraturan menteri juga.
Selama airline tidak melanggar (TBA dan TBB) itu, ya sebetulnya enggak ada urusan menteri untuk mendesak airline menurunkan harga.
ADVERTISEMENT
Kemudian kalau menteri akan menurunkan TBA dan TBB, harus mengikuti prosedur dalam undang-undang, termasuk didalamnya adalah memperhatikan dan mengakomodir pihak-pihak terkait, termasuk kepentingan airline.
Tidak bisa semau-maunya naikkan atau menurunkan. Saya khawatir keputusan menurunkan TBA ini mengabaikan pihak airline. Karena jauh hari Menteri Perhubungan dan Menko sudah menyebut angka 15 persen sebelum ketemu Inaca (Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia).
Bagaimana terkait permintaan pemerintah agar maskapai menurunkan harga tiket?
Saya mempertanyakan. Dalam undang-undang itu semua, menteri mengatur harga yang wajar, tidak harus murah. Murah itu, kalau mau konsumen gratis. Kalau bisa kan. Tetapi kan harus yang wajar.
Wajar itu kan termasuk persaingan sehat, perusahaan juga bisa berkembang dengan sehat. Makanya dalam mengeluarkan perizinan, menteri juga setiap tahun minta laporan keuangan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Nah dalam hal ini saya mempertanyakan ada apa sebetulnya, kok menteri teriak-teriak menurunkan harga. Apakah menteri punya rujukan bahwa harga sekarang ini tidak wajar? Rujukannya apa itu perlu terbuka kepada seluruh stakeholder, bukan hanya sekadar keluhan konsumen.
Dengan kondisi ini siapa yang paling dirugikan?
Semuanya akan rugi. Kalau sekarang kita kembali lagi ya rentang (tarif) batas atas dan batas bawah, kenapa batas bawah itu 1/3 batas atas? Itu untuk memberi ruang gerak kepada airline cukup fleksibilitas.
Ketika peak season permintaan tinggi, mereka bisa menaikkan harganya untuk mendapatkan laba. Ketika sepi mereka bisa menurunkan. Ada cross subsidi. Sejak 2016 diberlakukan TBA dan TBB ini tidak ada lagi tuslah (tambahan biaya) kan.
ADVERTISEMENT
Sehingga silakan bermain dalam rentang itu, ya cukup fleksibel. Nah fleksibilitas ini diperlukan supaya bisa naik bisa turun. Dalam Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2016 yang mengatur ini TBB dan TBA itu kan seharusnya minimal setahun sekali ditinjau kembali. Tapi pemerintah tidak pernah meninjau. Saya melihat keputusan ini keputusan politik yang mengabaikan aspek kepentingan pelaku yang diatur.
Tarif Batas Atas sudah turun, Kemenhub beri tenggat maskapai sesuaikan harga. Apakah mungkin harga tiket pesawat turun saat musim mudik ini?
Tidak. Kalaupun turun hanya sedikit, paling sekitar 10 persen. Sekadar menyesuaikan dengan TBA baru. Harusnya pemerintah naikkan cost per seat per kilometer agar airlines punya ruang gerak untuk fleksibilitas harga.
Saat peak season tiket pesawat mahal, airline raih profit. Saat low season airlines banting harga, manfaatkan profit dari peak season untuk subsidi. (Adapun) dampak pemerintah paksakan cost per seat per kilometer turun, airlines harus kejar load factor 85-90 persen untuk capai BEP (balik modal).
ADVERTISEMENT
Akan semakin banyak rute yang dikurangi frekuensinya, atau malah dihentikan sama sekali. Menurunkan TBA justru membuat ruang gerak makin sempit. Airlines akan terus pasang harga di TBA atau sedikit dibawah TBA. Tidak lagi mampu banting harga.
Dengan menurunkan besaran cost per seat per km seperti sekarang, memang terlihat batas bawah juga turun. Tapi mustahil airlines akan turunkan harga karena dengan menjual pada batas atas saja mereka sudah berat.
Jadi harga tiket pesawat akan tetap mahal?
Yang akan terjadi, pertama airlines akan tetap menjual tiket pada batas atas atau kisaran batas atas sepanjang tahun. Harga tiket malah jadi tidak fleksibel.
Kedua, rute-rute yang penumpangnya sedikit, di mana airline sulit mencapai taraf keterisian pesawat sedikitnya 80 persen, akan dikurangi frekuensi penerbangannya atau malah dihentikan. Penurunan besaran cost per seat per kilometer ini membuat airlines perlu load factor yang lebih tinggi untuk BEP.
ADVERTISEMENT
Ketiga, airlines akan menurunkan kualitas pelayanan dan kenyamanan untuk menghemat biaya operasi. Penurunan tarif secara paksa ini sebenarnya lose-lose situation. Penurunan tidak terlalu terasa bagi konsumen, namun terlalu berat bagi airlines.
Kalau ingin harga tiket bisa turun, bukan dengan menurunkan TBA. Justru dengan menaikkan acuan cost per seat per kilometer. Memang TBA akan naik, tapi airlines akan mampu meraih laba saat peak season dan menurunkan harga ke level bawah saat low season.
Lion Air dan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-hatta, Jakarta. Foto: AFP/Adek BERRY
Seperti apa hitungan cost per seat per kilometer?
Cost per seat per km itu bahwa untuk sekian rute A misalnya, itu jaraknya berapa kilometer (km) Tarif Batas Atas (TBA) berapa Tarif Batas Bawah (TBB) itu berapa? itu akan kelihatan untuk per kilometernya x rupiah per penumpang per km.
ADVERTISEMENT
Nah ini yang membuat sulit untuk airline itu bergerak karena ketika TBB (dan) TBA dibuat. TBB tahun 2016, TBA itu sudah sejak 2014 itu sudah ditetapkan dihitung dirumuskan biaya angkut per km per kursinya.
Sementara komponen-komponen biaya itu sudah berubah bergerak naik. Tapi satuan biaya per km per kursi ini tidak naik.
Contoh 1 rute sekarang dengan harga TBA Rp 1 juta, (sementara) TBB sekitar Rp 300 ribu. Karena TBA itu selalu 3 kali lipat TBB, perhitungannya adalah biaya operasi pesawat untuk rute tersebut kisaran Rp 400- Rp 500 ribu, sehingga ketika high season maskapai mendapatkan laba karena menjual TBA sekitar Rp 1 juta.
Labanya itu nanti untuk mensubsidi ketika low season maskapai menjual di batas bawah yang sebetulnya rugi karena di bawah biaya operasi. Nah terjadilah subsidi silang. Yang terjadi, biaya-biaya naik satuan cost per seat per km tidak diubah.
ADVERTISEMENT
Yang tadinya titik impas itu pada kisaran Rp 400- Rp 500 ribu, bergerak naik menjadi Rp 700 ribu sehingga tidak mungkin lagi airline menjual kisaran di bawah Rp 300 ribu karena batas atas laba makin kecil.
Berbeda kalau per seat per kilometernya itu diikutkan batas atas, akan naik tadinya Rp 1 juta menjadi Rp 1,3 juta. Batas bawah akan naik dari Rp 350 ribu menjadi Rp 450 ribu nah atau kurang lebih segitu.
Ketika dengan TBA baru ini, memang harga tiket pesawat bisa lebih mahal, lebih dari saat ini ketika permintaan tinggi. Tapi juga ketika permintaan atau kebutuhan menurun, harganya juga akan turun signifikan dari harga saat ini.
Tapi kalau dengan langkah menteri perhubungan ini ya tidak akan bergerak ke mana-mana, akan selalu bertengger TBA yang saat ini.
ADVERTISEMENT