Anomali Deflasi RI: Harga Pangan Turun, Tapi Konsumen Tunda Belanja

2 Agustus 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pedagang mengangkat dagangannya di Pasar Induk, Kramat Jati, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pedagang mengangkat dagangannya di Pasar Induk, Kramat Jati, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Indonesia baru saja melanjutkan tren deflasi menjadi tiga bulan berturut-turut yaitu Mei-Juli 2024. Pada Juli 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan deflasi sebesar 0,18 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mtm).
ADVERTISEMENT
Ekonom senior The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini, memandang deflasi yang dialami oleh Indonesia saat ini adalah gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya. Meskipun, secara umum terjadi penurunan harga barang.
“Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya,” tutur Didik dalam keterangannya, Jumat (2/8).
Deflasi yang kini terjadi di Tanah Air menurut dia berpotensi menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian dengan kebijakan makro dan kebijakan sektor riil saat ini.
Dia melihat kondisi saat ini adalah adanya harapan harga yang lebih rendah di masa depan dari konsumen, sehingga menunda pembelian barang konsumsi. Penyebabnya adalah keterbatasan pendapatan dan tingginya angka pengangguran. “Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan Pengeluaran konsumsi,” imbuh Didik.
Politisi, Didik J Rachbini. Foto: bio.or.id
Lebih lanjut Didik menjelaskan, saat ini Indonesia memang tengah menghadapi permasalahan ketenagakerjaan, baik itu peluang pekerjaan maupun masalah pengangguran yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal sangat banyak.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperparah dengan fenomena pemberian bantuan sosial (bansos) yang hanya diberikan sebagai alat jual beli suara politik. Didik menyebut pada akhirnya bansos tidak dapat memperbaiki keadaan, justru malah mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.
“Selain menerima keadaan deflasi beruntun, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK (pemutusan hubungan kerja) pengangguran yang semakin massal, (dan) pemerintah baru mendapat warisan utang yang besar selama 10 tahun terakhir ini,” jelas Didik.
Didik juga menyoroti beban yang ditanggung oleh pelaku usaha, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang semakin berat akibat masalah industri yang semakin kompleks.
“Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin dan Mantan Kepala LP3E Kadin Pusat, melihat tidak alternatif banyak kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja menjadi lebih sedikit lagi. Dunia usaha mengalami penurunan pendapatan akibat konsumsi masyarakat turun sehingga dengan terpaksa memberhentikan pekerja atau mengurangi jam kerja,” terang Didik.
Pekerja melakukan perakitan di Pabrik United Bike, Bogor, Kamis (21/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dengan begitu, dalam jangka lebih panjang bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena dengan sederet permasalahan sektor usaha, pengusaha akhirnya memilih pemotongan upah atau menghentikan kenaikan upah sebagai solusi. Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian.
ADVERTISEMENT
Didik kemudian mewanti-wanti pemerintahan baru yang akan menjabat mulai Oktober 2024 nanti. Sebab akan mendapatkan warisan dampak makroekonomi dari pemerintahan Presiden Jokowi.
“Hati-hati kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang memburuk. Penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh,” ujar Didik.
Sehingga akhirnya terjadi resesi yang berkepanjangan. Ini beriringan dengan investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan bertumbuh dan justru akan menurun. Dunia usaha akan melakukan koreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
Selain itu, dari sektor riil, Didik menyoroti akan adanya peningkatan suku bunga riil yang terjadi ketika suku bunga nominal rendah, deflasi meningkatkan suku bunga riil. Dampaknya pinjaman menjadi lebih mahal dan menghambat investasi dan pengeluaran.
ADVERTISEMENT
Hal ini menurut dia menyebabkan cita-cita pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 8 persen 2025 hanya akan menjadi angan saja.
“Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri,” tutup Didik.