Arcandra Ungkap Listrik Tenaga Angin di Eropa Anjlok, Terpaksa Pakai Fosil Lagi

10 Januari 2022 9:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga angin Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga angin Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa upaya Eropa untuk membangun dan memperkuat energi terbarukan belum berjalan sesuai harapan, diduga sebagai dampak dari perubahan iklim. Upaya memperbaiki perubahan iklim justru terhalangi oleh perubahan iklim itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Negara-negara di Eropa seperti Inggris, Denmark dan Jerman banyak mengandalkan angin sebagai sumber energi terbarukan mereka selain matahari. Wind turbin digunakan untuk mengubah energi bayu (angin) menjadi energi listrik (PLTB).
"Kalau sempat naik pesawat terbang di Eropa, dari ketinggian kita akan banyak melihat ratusan bahkan ribuan wind turbin terpasang di darat maupun di laut. Eropa memilih wind turbin sebagai sumber energi terbarukan bukan tanpa alasan. Selain rata-rata kecepatan angin yang cukup tinggi sepanjang tahun, juga karena ekosistem pengembangan wind energi yang sudah terbentuk sejak lama," kata Arcandra seperti dikutip dari akun Instagram pribadinya, Senin (10/1).
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Foto: Pixabay
Namun apa yang terjadi di Eropa tahun 2021 di luar perkiraan banyak orang. Kecepatan angin yang bertiup tidak lagi secepat biasanya. Di tahun 2020, wind turbin masih mampu menghasilkan energi listrik sebesar 20-26 persen dari kapasitas terpasang.
ADVERTISEMENT
"Situasi berubah drastis di tahun 2021. Wind turbin hanya mampu menghasilkan energi listrik sebesar 14 persen dari kapasitas terpasang. Dengan kata lain, terjadi penurunan produksi listrik dari wind turbin hingga 40 persen dibandingkan tahun 2020," tutur Arcandra.
Ia menyebut, ada tiga pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa turunnya energi listrik yang dibangkitkan oleh wind turbin di Eropa.
Pertama, volatilitas dari energi yang dibangkitkan oleh wind turbin sangat tinggi. Akibatnya konsumen harus beradaptasi dengan ketidakpastian energi yang dibangkitkan oleh wind turbin di masa depan.
"Konsekuensinya, di saat energi yang dibangkitkan oleh wind turbin besar maka biaya listrik yang dibayar oleh konsumen bisa lebih murah. Sebaliknya konsumen akan membayar mahal apabila energi dari wind turbin sedikit," Arcandra menjelaskan.
Mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar terlihat di Kementerian ESDM, Selasa (22/10/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Pelajaran kedua, dengan volatilitas wind turbin yang sangat tinggi, maka kebutuhan akan baterai sebagai storage menjadi sangat penting. Di saat energi yang dibangkitkan berkurang maka baterai digunakan untuk menggantikannya. Sebaliknya pada saat energi yang dibangkitkan berlebih maka baterai akan menyimpan kelebihan energi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pelajaran ketiga, turunnya energi yang dibangkitkan oleh wind turbin terpaksa digantikan oleh energi fosil seperti gas dan batu bara. Akibatnya, target untuk mempercepat net-zero emisi menjadi terganggu. "Selain itu, konsumen juga harus rela untuk membayar mahal listrik yang dibangkitkan oleh energi fosil ini karena melambungnya harga LNG dan batubara tahun 2021," kata Arcandra.
Sampai hari ini tidak ada yang tahu pasti kenapa kecepatan angin di Eropa turun akhir-akhir ini. Diduga hal ini dipengaruhi oleh perubahan iklim. "Kalau dugaan ini benar, maka kita berada pada lingkaran yang tak berujung. Kenapa? Wind energi yang diharapkan menjadi solusi untuk menjaga climate change tersendat karena climate change merusak kecepatan angin yang diharapkan," ucapnya.
Situasi yang sama kemungkinan juga bisa terjadi dengan energi yang bersumber dari matahari. Ketika climate change menciptakan perubahan musim seperti banyaknya terjadi hujan, tentunya akan berdampak terhadap produksi listrik yang terbentuk dari sumber energi berbasis matahari.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita telaah lebih dalam lagi dan merenungkan apa yang terjadi di Eropa dengan krisis energinya, apa mungkin energi terbarukan terlalu maju mengambil alih peran energi fosil dalam masa transisi menuju net-zero emisi? Tentu kita sadar bahwa penggunaan energi terbarukan bukan untuk ditawar-tawar," tutupnya.