LIPSUS, AIRASIA, Hilangnya AirAsia, Cover Story, REVISI

Babak Baru AirAsia Melawan Singa Langit

18 Maret 2019 12:01 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia. Foto: Herun Ricky/kumparan

Perang antar-maskapai penerbangan berbiaya murah terus berlanjut. Kini agen travel online terseret.

Direktur Utama AirAsia Indonesia, Dendy Kurniawan, menelan kecewa. Hilangnya tiket maskapai tempatnya bekerja pada 2 Maret lalu tak jua mendapat jawaban terang dari online travel agent (OTA). Ia pun mencabut penjualan tiket di OTA terbesar di tanah air, Traveloka.
Dimulailah babak baru perang maskapai penerbangan murah, yang menyeret-nyeret agen travel. “Ini sudah mencederai hubungan bisnis,” lanjut Dendy.
AirAsia makin kecewa ketika Traveloka justru mengarahkan pembeli untuk menggunakan maskapai lain. Maka bukan hanya AirAsia Indonesia yang mencabut penjualan tiketnya dari Traveloka, tapi AirAsia Group di enam negara—selain Indonesia yakni Malaysia, Jepang, India, Thailand, dan Filipina.
Pada saat bersamaan, harga tiket maskapai nasional seperti Garuda dan Lion tengah berada di kisaran batas atas alias tinggi, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang menyelidiki kasus dugaan kartel tiket dan kargo pesawat.
Namun, AirAsia tak mau mencampuradukkan ragam perkara itu. Ia tak mau melapor ke KPPU dengan alasan hendak fokus pada pelayanan produk jasa. Yang diyakini AirAsia kini: OTA telah memihak dalam persaingan di industri penerbangan.
AirAsia memiliki sejarah panjang dalam menguasai pasar penerbangan murah di ASEAN. Maskapai ini semula perusahaan penerbangan milik pemerintah Malaysia yang kemudian diakuisisi eksekutif Time Warner, Tony Fernandes, dengan harga simbolik RM 1 atau sekitar Rp 3.200 pada 2 Desember 2001.
Membeli AirAsia bagai mimpi jadi kenyataan bagi Tony. Ia punya keinginan mengembangkan bisnis penerbangan murah sejak mengambil studi di selatan Inggris. Impian itu dilandasi pengalaman pribadinya sulit pulang ke Malaysia saat libur sekolah karena harga tiket pesawat mahal.
“Saya selalu bermimpi memiliki maskapai penerbangan jarak jauh yang murah. (Pengalaman saat kuliah) itu sangat menyentuh bagi saya 35 tahun kemudian,” kata Tony dalam wawancaranya kepada BBC, November 2010.
Tony Fernandes, CEO AirAsia. Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Kendali Tony Fernandes atas AirAsia membuat maskapai itu melesat sebagai layanan penerbangan berbiaya rendah atau low-cost carrier. AirAsia yang memiliki moto ‘Now Everyone Can Fly’ berhasil membangun jaringan dan berhasil diterima di berbagai negara Asia dan Eropa.
Kebijakan AirAsia mengembangkan penerbangan berbiaya rendah dilakukan secara konsisten. Beberapa kebijakan itu pertama, menggunakan pesawat sejenis, yakni Airbus A320-200 yang diyakini bakal mampu menekan biaya pembelian spare part pesawat.
Kedua, menjalankan model bisnis dengan menekan biaya operasioal seminimal mungkin agar tiket tidak mahal. Hal itu dijalankan dengan kebijakan perusahaan yang mengandalkan teknologi seperti penjualan tiket via website dan check in online.
Ketiga, menghabiskan waktu di udara dibandingkan waktu di darat. Maksudnya, AirAsia biasa hanya menghabiskan waktu 25 menit di darat sebelum kembali terbang. Ini dilakukan untuk menghemat biaya parkir pesawat di bandara yang tergolong cukup mahal.
Pesawat AirAsia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
AirAsia mulai menjelajah langit Indonesia setelah mengakuisisi PT Air Wagon Internasional pada 2004. Tony mengajak beberapa pengusaha lokal seperti Pin Harris yang memegang saham sebesar 20 persen, Sendjaja Widjaja 21 persen, dan PT Fersindo Nusaperkasa sebesar 10 persen. Mereka lantas mendirikan PT Indonesia AirAsia.
Mereka meneruskan kebiasaan menggunakan pesawat Airbus A320-200 untuk menjelajah berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bali, Medan, dan Surabaya.
Pelan tapi pasti AirAsia menjadi salah satu maskapai favorit masyarakat untuk melakukan perjalanan udara. Terlebih, pesawat yang identik dengan warna merah putih ini sering kali melakukan promo tiket murah yang menjadi nilai lebih tersendiri.
Lonjakan signifikan penumpang domestik AirAsia terjadi pada 2013 dengan total 7,8 juta penumpang dan tingkat keterisian pesawat sebesar 76 persen. Setelah 14 tahun mengudara di langit Indonesia, kini AirAsia melayani delapan rute domestik yang dioperasikan 24 pesawat.
Meski mengalami peningkatan penumpang setiap tahun, pangsa pasar AirAsia di penerbangan domestik Indonesia per 2017 hanya dua persen. Jumlah tersebut kecil saja jika dibanding Lion Group yang menguasai 50 persen, disusul Garuda Group dengan 46 persen.
Penguasa Langit Indonesia. Foto: kumparan
Direktur Niaga AirAsia Indonesia, Rifai Taberi, menyatakan meski pangsa pasar domestik AirAsia hanya dua persen, pertumbuhan penumpang rata-rata per tahun mereka meningkat 10-15 persen.
“Fokus kami meningkatkan turis untuk masuk ke Indonesia. Semua ada market-nya,” ujar Rifai di Red House AirAsia, Tangerang, Kamis (14/3).
Pesaing Kuat Lion
Laju bisnis AirAsia mengereknya masuk dalam persaingan penerbangan berbiaya rendah di ASEAN. Ia bertemu Lion Group, singa langit dari Indonesia. Nyatanya, meski kalah di penerbangan domestik Indonesia, AirAsia sukses lepas landas di penerbangan regional.
Catatan akhir tahun 2017 mencatat market share AirAsia di penerbangan regional sebesar 36 persen. Angka ini mengungguli Lion Group sebesar 17 persen, dan hanya kalah tipis dari Garuda Grup sebesar 39 persen.
Pakar dan konsultan penerbangan Gerry Soejatman menyebutkan, persaingan dua maskapai ini tidak bisa dilihat dalam penerbangan domestik saja. Keduanya sama-sama menguasai pasar penerbangan regional ASEAN. AirAsia pun memiliki keunggulan.
“Dari sisi brand value, (Lion Grup) masih di bawah AirAsia. Kalau kita ngomongin brand paling kuat di Asia Tenggara ya AirAsia,” kata Gerry kepada kumparan, Kamis (14/3).
Pesawat Malindo di Bandara Changi, Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Rusdi Kirana pun secara terbuka menantang AirAsia dengan mendirikan Malindo Airways di Malaysia yang notabene rumah AirAsia. Menyusul tahun 2013, Thai Lion terbentuk di Thailand atas kerja sama Lion Air dengan mitranya di Negeri Gajah Putih.
“Kami (Lion Air dan AirAsia) memang berkompetisi. Saya pernah bilang sama (CEO AirAsia) Tony (Fernandes), ‘Gua kagum sama you, tapi you saya challenge: who is stronger? Saya akan masuk rumahmu (Malaysia). You ada di Thailand, gua juga masuk sana,” kata Rusdi Kirana dalam wawancara dengan Majalah Angkasa, seperti dimuat Kompas.com, 21 Februari 2015.
Tony Fernandes meladeni tantangan operasi Malindo Airways di Malaysia itu dengan senang. Ia yakin keberadaan kompetitor itu tak bakal menggerus bisninsnya. Toh, jejaring AirAsia sudah cukup kuat.
“Kami tidak mengkhawatirkan hal tersebut karena pasar kami masih besar,” ujar Tony, 19 September 2012.
Ujaran Tony bukan tanpa alasan. AirAsia memang memiliki jaringan rute terluas di Asia Tenggara, dengan menjadi satu-satunya maskapai yang terbang ke semua ibu kota negara ASEAN. Ini terang membuat ASEAN jadi salah satu tulang punggung AirAsia dalam ekspansinya di pasar regional.
Pesawat Air Asia Foto: Reuters/Edgar Su
Persaingan AirAsia dan Lion Air di level regional tak terhindarkan setelah kedua maskapai sama-sama membangun proyek masa depan, dengan membuka cabang di negara-begara besar ASEAN. Akhir 2018, misalnya, AirAsia secara resmi mengumumkan akan membuka cabang di Vietnam. Tony Fernandes menandatangani memorandum kerja sama dengan pengusaha lokal Vietnam, Tran Trong Kien.
Langkah baru AirAsia itu segera dibalas Lion Air dengan membuka cabang di Kamboja dalam waktu dekat. Selain itu, Lion juga menjajaki pembukaan rute baru di Vietnam, Filipina, Myanmar, hingga Timor Leste.
Maka, ASEAN menjadi medan pertarungan terbuka bagi maskapai berbiaya rendah. Kebijakan ASEAN Open Sky Policy yang hendak mendorong konektivitas dan pertumbuhan ekonomi kawasan, berimbas pada kompetisi ketat industri penerbangan. Maskapai berlomba memborong pesawat dan membuka pelayanan di Asia Tenggara.
Bertahan di Tengah Gencatan
AirAsia kini berencana membeli 100 unit pesawat Airbus A321neo dan A330neo wide-body senilai 23 miliar USD atau setara Rp 327 triliun pada 2019 ini.
Penguatan armada AirAsia di Indonesia dilakukan dengan menambah empat pesawat. Selain itu, AirAsia juga akan menambah rute penerbangan, misalnya Lombok-Perth yang mulai beroperasi Juni mendatang.
“Dengan membuka (rute) di Lombok kami sudah mulai masuk untuk penetrasi pasar baru. Kami juga sudah mulai masuk ke Belitung ya. Jadi akan kami kembangkan rute-rute baru di beberapa kota,” ujar Rifai.
Aroma Kartel Harga Tiket Pesawat. Foto: Basith Subastian/kumparan
Ekonom Senior INDEF Nawir Messi menilai AirAsia masih akan digdaya meramaikan persaingan penerbangan domestik. Ia takkan layu walau harus menghadapi penjualan tanpa agen travel online, sebab tak hanya menggantung hidup dari pasar Indonesia saja.
Seolah mengamini, AirAsia menyatakan situs penjualan tiketnya di AirAsia.com melonjak hingga 60 persen usai tiketnya tak dijual di agen online.
“Kami punya toko pribadi (lewat website itu). Masyarakat sudah tahu, untuk mencari tiket AirAsia ya paling gampang ke situs AirAsia,” kata Rifai.
Ia yakin, AirAsia tak bakal goyah.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten