Bahlil Sebut Smelter Nikel di IWIP Mulai Beralih Gunakan Panel Surya di 2025

25 September 2024 13:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan sambutan saat menghadiri acara kumparan Green Initiative Conference 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/9/2024).
 Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan sambutan saat menghadiri acara kumparan Green Initiative Conference 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/9/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meminta pabrik pengolahan mineral alias smelter mulai bergeser menggunakan energi baru terbarukan (EBT), salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
ADVERTISEMENT
Bahlil mencontohkan smelter-smelter nikel di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang memakai listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, sudah bisa memanfaatkan panel surya.
"Kita akan mengganti smelter-smelter industri yang sekarang mereka memakai batu bara, itu ke energi baru terbarukan. Contoh, di Weda Bay itu membangun industri hilirisasi dari bahan baku nikel," ungkapnya saat kumparan Green Initiative Conference 2024 di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu (25/9).
Saat ini, lanjut Bahlil, PT IWIP sudah membangun sekitar 8-10 gigawatt (GW) panel surya di lahan eks pertambangan. Konversi dari batu bara menjadi panel surya bisa dimulai tahun depan.
Dia menargetkan energi dari solar panel bisa mencapai 60-70 persen dari total pemakaian energi di kawasan smelter tersebut pada puncaknya di tahun 2030.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah diskusi dengan mereka, di 2025 mulai start untuk mulai konversi memakai solar panel di eks pertambangan itu," kata Bahlil.
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) PLN Indonesia Power (PLN IP). Foto: PLN Indonesia Power
Di sisi lain, Bahlil mengatakan pemerintah juga mulai memperketat perizinan pembangunan smelter yang memproduksi nickel pig iron (NPI), harus menggunakan energi baru terbarukan.
"Kita mulai selektif, syaratnya sekarang salah satu dari antaranya adalah sudah harus memakai energi baru terbarukan, minimal gas," tuturnya.
Bahlil mengakui konsekuensi dari kebijakan tersebut membuat biaya investasi alias capital expenditure (capex) pembangunan smelter menjadi lebih mahal. Namun, menurut dia, hal ini bisa dikompensasi dengan biaya produk yang juga lebih mahal.
"Mahalnya capex untuk melakukan investasi terhadap power plant yang berorientasi pada energi baru terbarukan, itu ditutupi dengan harga produk yang memang harganya lebih mahal ketimbang produk yang dihasilkan dari energi batu bara atau fosil. Jadi kalau dihitung secara ekonomi, itu no issue," kata Bahlil.
ADVERTISEMENT