Bambang Brodjonegoro Kritisi Dana JETP, Tak Boleh Bebani Utang Negara

18 September 2023 11:52 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro.
 Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro
zoom-in-whitePerbesar
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, mengkritisi dana Just Energy Transition Mechanism (JETP) senilai USD 20 miliar atau Rp 310 triliun untuk Indonesia tidak boleh mayoritas dari utang.
ADVERTISEMENT
Dana JETP menjadi pendanaan iklim terbesar di dunia, yang diluncurkan saat KTT G20 Indonesia oleh pemerintah dan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
Bambang menuturkan, meski Indonesia masih bernegosiasi terkait kesepakatan ini, dia menyarankan agar pendanaan ini mayoritas berasal dari pembiayaan ekuitas, bukan pembiayaan utang.
"Saya melihat apa yang perlu kita negosiasikan dalam pendanaan tersebut yaitu upaya agar porsi pembiayaan ekuitas lebih besar dibandingkan pembiayaan utang," tegasnya saat Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, Senin (18/9).
Mantan Menteri PPN/Bappenas itu juga menambahkan, meskipun pinjaman akan mudah diakses karena untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), tetap saja tidak boleh membebani utang negara.
ADVERTISEMENT
"Nanti akhirnya jadi pembicaraan seolah-olah Indonesia mau transisi energi, tapi utangnya makin besar. Kalau mau transisi energi undang investor masuk, bahasa politiknya bagus, bahasa ekonomi juga bagus," tuturnya.
Selain itu, Bambang juga menyarankan pemerintah untuk bisa meningkatkan porsi hibah dalam pembiayaan JETP untuk menjadi jaminan bagi investor.
"Porsi hibah dalam JETP harus ditambah karena bagaimanapun investor mau masuk kalau ada dukungan atau jaminan untuk investor bagi pemerintah, bisa grant-nya supaya prosesnya mulus," tegas dia.
Bambang juga menyarankan agar pendanaan ini tidak hanya difokuskan kepada pengembangan EBT berbasis surya atau angin saja, melainkan disesuaikan dengan kearifan lokal setempat, seperti biomassa atau hidro.
Terakhir, sebagai negara kepulauan, Indonesia perlu menguatkan transmisi listrik yang butuh pendanaan jumbo, berbeda dengan India atau Amerika Serikat. Hal ini karena pembangkit EBT cenderung terlokalisasi sehingga hanya bisa memindahkan listriknya.
ADVERTISEMENT
"Membuat jaringan listrik nasional di nusantara mahal sekali, karena kabel bawah lautnya banyak. Jadi pendanaan untuk itu juga cukup penting atau sama pentingnya dengan transisi energi itu sendiri," pungkas Bambang.
Adapun pendanaan JETP Indonesia terdiri atas USD 10 miliar pendanaan publik dari para anggota IPG. Sementara USD 10 miliar sisanya dari 7 institusi keuangan internasional yang merupakan anggota Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yaitu HSBC, Citibank. Standard Chartered, Bank of America, Deutsche Bank, MUFG, dan Macquarie.
Dari komitmen pendanaan USD 20 miliar, pemerintah Indonesia bakal mendapatkan dana hibah senilai USD 160 juta atau sekitar Rp 2,39 triliun. Nominal tersebut sekitar 0,8 persen dari seluruh total komitmen pendanaan JETP senilai USD 20 miliar.
ADVERTISEMENT