Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Banjir Impor Jadi Masalah Industri Tekstil, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
15 Desember 2024 13:49 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Banjir produk impor masih menjadi masalah industri tekstil dan produk tekstil. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menuturkan saat ini industri tekstil memang tengah mengalami pertumbuhan kinerja, hanya saja konsumsi masih didominasi produk impor.
ADVERTISEMENT
“Konsumsi didominasi oleh produk impor jadi tidak mendorong secara riil di industrinya, maka meskipun datanya tumbuh positif, secara nasional utilisasi industri TPT masih sekitar 45 persen,” kata Redma kepada kumparan, dikutip Minggu (15/12).
Dia membeberkan pada kuartal III 2024, industri TPT tumbuh positif untuk pertama kalinya setelah dua kuartal pada 2024 mengalami kinerja negatif. Meski demikian, hal ini belum bisa memulihkan kinerja industri TPT. Menurutnya, ada geliat konsumsi produk tekstil lokal pada kuartal ini.
“Kalau menurut data memang di kuartal III ada pertumbuhan, tapi pertumbuhan ini belum cukup dinilai sebagai pemulihan karena 6 kuartal sebelumnya kita tumbuh negatif. Kuartal III ini TPT tumbuh 7,43 persen,” jelas Redma.
Redma menegaskan permasalahan banjir produk impor masih menjadi tantangan kinerja industri TPT. Bahkan, masih terus berlanjut sampai 2025 jika pemerintah tidak mengambil tindakan.
ADVERTISEMENT
Terlebih, menurut dia, industri TPT dalam negeri tidak lagi bisa mengandalkan pasar ekspor yang akan semakin lesu setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih AS. Redma melihat akan ada pengetatan impor di negara adidaya tersebut.
“2025 ini kalau pemerintah tidak ada gebrakan maka akan jatuh lagi, karena dgn terpilihnya Trump, posisi geopolitik dan perdagangan akan semakin ketat dan daya beli juga kian turun,” ujar Redma.
Redma berharap pemerintah akan menyelesaikan permasalahan gempuran produk impor ini. Sehingga industri yang digawanginya ini bisa mencatatkan kinerja positif.
Dengan pasar ekspor yang semakin terpuruk, Redma menyebut pelaku usaha tentu akan berharap banyak pada pasar domestik.
“Tapi kalau pemerintah bisa bereskan masalah banjirnya impor, maka kita punya pasar domestik untuk bisa tumbuh positif,” ungkap Redma.
Sementara untuk membantu kinerja industri saat ini, Redma mengatakan pelaku usaha telah mengajukan agar ada insentif energi berupa listrik kepada perusahaan setrum negara, PT PLN (Persero). Dia juga berencana melanjutkan usulannya ini kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Redma menjelaskan industri TPT sempat mencapai masa kejayaannya pada 2019 lalu, sebelum pandemi COVID-19 mendera. Pertumbuhannya kian menurun memasuki 2020.
“2019 tumbuh 15 persen. Selama COVID-19 kita tumbuh negatif dan mulai positif di 2022 namun kembali negatif sepanjang 2023 sampai kuartal II 2024,” tutup Redma.
Berdasarkan data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri tekstil tak lagi menjadi sub sektor industri manufaktur yang kontraksi sejak September 2024. Artinya, pada September dan Oktober 2024, industri ini telah bertumbuh dan mencatatkan ekspansi.
Ekonom Ungkap PR Pemerintah Agar Industri Tekstil Bisa Tumbuh
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, menuturkan ada harapan industri TPT bisa bertumbuh pada 2025.
ADVERTISEMENT
Andry mengungkapkan Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Sebab, nantinya akan ada kebijakan pengetatan perdagangan yang meminimalisir masuknya produk China ke AS.
Terlebih, hal ini diproyeksi juga akan dilakukan AS untuk produk asal Vietnam. Vietnam adalah negara saingan Indonesia dalam memproduksi dan menjajakan produk tekstil di pasar global.
“Ke depan menurut saya ada harapan sebetulnya ya. Apalagi kalau kita berbicara mengenai perang dagang, di mana AS ini akan memberikan tarif impor yang cukup besar, 60 persen kepada China, dan tidak menutup kemungkinan akan diberikan juga kepada Vietnam,” kata Andry kepada kumparan, dikutip Minggu (15/12).
Hanya saja, lanjut Andry, hal ini tetap bergantung pada langkah yang akan diambil oleh pemerintah. Bagaimana pemerintah bisa menangkap peluang ini untuk mengerek pertumbuhan industri tekstil dalam negeri.
ADVERTISEMENT
“Apakah Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini? Terutama kalau kita berbicara mengenai tekstil dan alas kaki yang cukup banyak ekspornya ke AS. Nah ini salah satu harapan menurut saya,” terangnya.
Andry menjelaskan, untuk mengejar hal ini, pemerintah bisa memberikan stimulus kepada industri tekstil. Salah satunya bisa dengan insentif energi dan menurunkan biaya logistik.
“Langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah ya tentunya harus ekstra ordinary gitu ya, ada paket kebijakan stimulus terhadap sektor tekstil, nah ini juga masih belum kita lihat gitu,” jelas Andry.
Di sisi lain, pemerintah juga harus membenahi pasar domestik agar pelaku usaha industri tekstil bisa memasarkan produknya dalam negeri dengan lebih leluasa. Sebab, saat ini permasalahan banjirnya produk impor masih menjadi kendala.
ADVERTISEMENT
“Impor ilegal itu bisa diberantas, yang kedua adalah menutup kemungkinan impor yang terindikasi praktek dumping dan juga praktek yang tidak adil gitu ya. Nah ini yang seharusnya dilakukan segera oleh pemerintah,” tutur Andry.