Bantah Faisal Basri, Kemenperin Beberkan Keuntungan Hilirisasi Nikel Buat Daerah

13 Agustus 2023 18:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jubir Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif. Foto: Kemenperin
zoom-in-whitePerbesar
Jubir Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif. Foto: Kemenperin
ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara soal hilirisasi nikel di Indonesia yang disebut ekonom INDEF, Faisal Basri, hanya menguntungkan China.
ADVERTISEMENT
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif mengatakan hilirisasi nikel yang lagi dijalankan pemerintah saat ini berikan banyak keuntungan buat Indonesia di masa depan. Salah satu bentuk hilirisasi adalah pembangunan smelter atau pabrik pengolahan pemurnian nikel.
Saat ini ada 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam konstruksi. Total investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar USD 11 miliar atau sekitar Rp 165 triliun (Kurs Rp 15.000) untuk smelter Pirometalurgi, serta sebesar USD 2,8 miliar atau mendekati Rp 40 triliun untuk tiga smelter Hidrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Febri menjelaskan, kehadiran smelter tersebut hanya untuk menyerap produk lokal. Mengingat 17 smelter masih dalam masa pembangunan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, smelter tersebut mempekerjakan sekitar 120 ribu orang tenaga kerja. Lokasi smelter tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.
“Hal ini mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di daerah lokasi smelter berada,” kata Febri dalam keterangan resminya, Minggu (13/8)
Febri bilang, besarnya multiplier effect smelter nikel dapat dilihat dari nilai tambahnya. Kemenperin menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah.
Lokasi kawasan smelter nikel terintegrasi Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
Febri menyampaikan, apabila nilai nikel ore mentah dihargai USD 30 per ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai USD 90 per ton. Sedangkan bila menjadi Feronikel, akan naik 6,76 kali atau setara USD 203 per ton.
ADVERTISEMENT
Ketika hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan Nikel Matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau USD 3.117 per ton. Terlebih, sekarang Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (USD 3.628 per ton).
“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” ungkap Febri.
Hal ini tentu akan menambah pemasukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lain yang nilainya triliunan rupiah. Seperti yang disampaikan oleh Jokowi, jika RI mengekspor bahan mentah angkanya hanya Rp 17 triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang mencapai Rp 510 triliun. Sehingga penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat.
ADVERTISEMENT
Melihat performa kontribusi logam dasar ke ekonomi, Febri menjelaskan, PDB logam dasar di kuartal I 2023 tumbuh 11,39 persen. Pada semester I 2023 ini, logam dasar mencatatkan PDB sebesar Rp 66,8 triliun. Selama periode tahun 2022, subsektor ini tumbuh di atas 15 persen dengan nilai Rp 124,29 triliun, juga tahun 2021 tumbuh double digit setara Rp 108,27 triliun. Bahkan di tahun 2020 yang penuh tekanan akibat pandemi COVID-19, industri logam dasar berhasil tumbuh mengesankan.
“Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuh Febri.
Posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel terus menguat dalam beberapa tahun terakhir, utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel dijalankan. Ekspor Stainless steel, baik dalam bentuk slab, HRC maupun CRC, menyentuh angka USD 10,83 miliar di tahun 2022. Nilai ekspor ini meningkat 4,9 persen dari tahun 2021 yang sebesar USD 10,32 miliar. Berdasarkan data world stop export tahun 2022, Indonesia menjadi eksportir HRC urutan pertama dunia dengan nilai USD 4,1 miliar. Febri menambahkan, ekspor produk hilir dari nikel lainnya juga terus meningkat pesat.
ADVERTISEMENT
Tercatat pada tahun 2022, nilai ekspor feronikel mencapai USD 13,6 miliar, atau meningkat 92 persen dibandingkan nilai ekspor pada tahun 2021 yang sebesar USD 7,08 miliar. Nilai ekspor nikel matte juga melonjak sebesar 300 persen, dari USD 0,95 miliar pada tahun 2021 menjadi USD 3,82 miliar pada tahun 2022.
Tidak hanya itu, hadirnya nikel di Indonesia juga mampu mengerek PDRB industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Sulawesi Tenggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74 persen pada tahun 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel. Keutamaan lainnya ekonomi hilirisasi ini adalah ekspor Sulawesi Tenggara pada 2022 mencapai USD 5,83 miliar dengan USD 5,7 miliar atau 99,30 persen didominasi oleh golongan besi baja berupa feronikel (FENI), Nickel Pig Iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) Nikel di wilayah ini. Besarnya ekspor nikel ini mengindikasikan besarnya peran dari industri nikel.
ADVERTISEMENT
Kemudian, jika dilihat dari perolehan PNBP, sektor logam nikel juga mengalami kenaikan yang mengagumkan, terutama dari daerah-daerah penghasil nikel. Tahun 2022, PNBP dari daerah penghasil nikel mencapai Rp 10,8 triliun, meningkat dari tahun 2021 yang sebesar Rp 3,42 triliun. Total PNBP dari lima provinsi penghasil nikel mencapai Rp 20,46 triliun sepanjang 2021 hingga kuartal II 2023, dengan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan penyumbang terbesar PNBP (Rp 8,73 triliun), disusul provinsi Maluku Utara (Rp 6,23 triliun).
Hadirnya smelter dalam kerangka hilirisasi nikel ini juga memberikan dampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah sekitar smelter. Selain itu, aglomerasi ekonomi di wilayah tersebut juga ikut meningkat.
“Hilirisasi jangan dilihat dari ownership smelter, baik itu PMA atau PMDN, tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT