Berbisnislah Seperti Petani, Jangan Tinggalkan Tanaman Meski Kemarau

12 November 2018 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chairman dan CEO Crown Group, Iwan Sunit. (Foto: Dok. Crown Group)
zoom-in-whitePerbesar
Chairman dan CEO Crown Group, Iwan Sunit. (Foto: Dok. Crown Group)
ADVERTISEMENT
Iwan Sunito, diaspora Indonesia di Sydney, Australia, telah sukses membangun bisnis properti melalui Crown Group hingga usahanya telah melampaui usia 20 tahun. Saat ini, ada empat proyek di Sydney, yang tengah digarapnya secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Dua di antaranya adalah Mastery, yaitu sebuah mix used property (apartemen dan pusat ritel) di area seluas 1,6 hektare dengan nilai investasi setara Rp 4 triliun. Serta Eastlakes, proyek apartemen dan pusat perbelanjaan yang nilainya setara Rp 10 triliun. Ini nilai proyek terbesar yang pernah digarap Crown Group.
Sesuai aturan di Australia, semua proyek properti Crown Group didanai modal sendiri dan sebagiannya dari bank. Kalau pun ada uang muka dari pembeli, disimpan di trust account dan tidak dapat digunakan oleh pengembang.
“Jadi kalau bicara modal investasi, apa enggak deg-degan gelontorin uang sebesar itu? Makanya kita enggak sembarangan mengelola bisnis properti ini,” kata Iwan saat dijumpai kumparan dan sejumlah media terbatas lain, di kantornya di Sydney, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Seperti lazimnya membangun bisnis, Iwan pun pernah mengalami masa-masa sulit yang dia ibaratkan seperti petani menghadapi musim kemarau. Apa kiat sukses bisnis propertinya? Berikut cuplikan wawancara Iwan yang disampaikan di suatu hari Minggu, hari libur buat kebanyakan orang.
Apa yang menjadi filosofi Crown Group dalam membangun proyek-proyek propertinya? Soal visi dan filosofi, jadi setiap proyek kita tuh berbeda-beda, jadi kayak signature. Satu desain yang khusus, jadi enggak ada gedung yang sama sebetulnya.
Setiap kita mau bikin proyek kita mikirin, bagaimana supaya jadi iconic building yang leave legacy. Jadi bukan building yang asal terjual.
Kadang orang juga bertanya, gedung itu harus didesain untuk bisa bertahan 50 tahun atau enggak? Biasanya kan setelah itu di-knock down. Saya bilang, gedung yang bagus itu should stand forever. Gitu kan? Enggak cuma 50 tahun, tapi seumur hidup. For life, for years.
ADVERTISEMENT
Proyek properti Crown Group semuanya di Sydney, tapi Anda punya kantor di Jakarta. Bikin program pemasaran juga buat orang Indonesia. Seberapa menarik sebetulnya investasi properti di Australia bagi WNI? Ini menarik banget. Waktu di Surabaya, kita memperkenalkan proyek Mastery. Itu, kita dapat sembilan deposit hanya dalam waktu sejam. Itu sekitar 9 juta dolar value-nya. Itu hampir sama dengan Jakarta. Enggak pernah terjadi sebelumnya. Kita sering melihat kekuatan pembeli Jakarta daripada dari luar Jakarta.
Kenapa mereka tertarik? Mereka tertarik karena populer untuk orang Indonesia yang mau sekolah. Di sini, dekat sama sekolah-sekolah besar, dan banyak investor kita melihat lumayan investasi di Australia. Mereka pada ngikutin kita terutama pada proyek-proyek yang kita bangun.
Chairman dan CEO Crown Group, Iwan Sunit. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chairman dan CEO Crown Group, Iwan Sunit. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
Rupiah sempat melemah terhadap dolar. Apakah itu tidak mengurangi minat pembeli? Menurut saya juga karena melemahnya rupiah, jadi mungkin bukan orang enggak bisa beli. Tapi malah sadar, tidak semua uangnya ditaruh di satu keranjang, sehingga hanya untung saat rupiah bagus saja.
ADVERTISEMENT
Bagus juga buat orang Indonesia, di mana uang tidak ditaruh di rupiah semua jadi mem-balancing power-nya.
Tahun 1985 kita investasi (properti) pertama di Sydney. Waktu itu 1 unit rumah harganya AUD 125 ribu, rupiahnya Rp 675 per dolar Australia. Jadi kan harga rumahnya sekitar Rp 100 juta. Malah enggak sampai. Hari ini, rumah yang sama harganya AUD 2 juta atau dengan kurs saat ini sekitar Rp 21,6 miliar.
Jadi dalam waktu 30 tahun itu, harga rumahnya sudah meningkat 216 kali lipat atau growth rate-nya 720 persen per tahun. Jadi pendorong kenaikan nilai investasinya ini bukan hanya dari kenaikan harga propertinya saja, tapi juga kenaikan (kurs) dolarnya itu.
ADVERTISEMENT
Jadi investasi properti di luar negeri itu menguntungkan? Orang Indonesia tetap fokus 70-80 persen pekerjaannya di Indonesia, hasil kerjanya juga diinvestasikan di Indonesia. Tapi sebagian sisanya, mereka memikirkan investasi enggak bisa ditaruh di satu keranjang. Opsi mereka taruh dolar di bank account dengan bunga US, (dulu) tidak ada bunganya atau Australia dolar dapat bunga sekitar 2 atau 3 persen.
Sedangkan jika membeli apartemen bisa dapat sewa 2 persen atau 3 persen net kan?! Ditambah juga dapat capital gain dari kenaikan harga properti. Kenaikan properti sebetulnya itu common sense, tapi tidak common practise. Maksudnya, itu masuk asal tapi tidak banyak dilakukan orang indonesia.
Selain dari Indonesia, bagaimana animo investor properti dari luar Australia lainnya? Proyek Mastery ini baru tanggal 17 November 2018 akan kita lauching di Sydney. Lalu Jakarta sama Shanghai. Minggu depannya lagi di Hong Kong dan Singapura. Total di Indonesia kita sudah terima 25 NUP (Nomor Urut Pemesanan). Jadi potensi penjualan setara AUD 25 juta. Sudah melebihi target penjualan untuk di Indonesia.
Infinity luxury apartment, salah satu proyek Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Dok. Crown Group)
zoom-in-whitePerbesar
Infinity luxury apartment, salah satu proyek Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Dok. Crown Group)
Tadi Anda bilang, setiap proyek Crown Group adalah signature. Setiap bangunan harus jadi iconic building. Bagaimana mempertemukan idealisme ini dengan keinginan pasar? Mempertemukan idealisme dengan pasar itu kalau untuk perusahaan baru mungkin susah. Kalau enggak punya branding kan tetap saja orang lihat siapa di belakang proyek properti itu.
ADVERTISEMENT
Lalu kadang masalah kapasitas. Bisa enggak membangun desain yang bagus, dengan harga yang rasional untuk bisa dijangkau. Itu kan perlu pengalaman dan kalau orang enggak kenal, orang mau harganya murah. Masalahnya kalau harga murah enggak mungkin desainnya bagus. Spesifikasi bangunan, materialnya juga, dipotong semua.
Crown Group sendiri butuh lebih dari 20 tahun untuk membangun branding ini dan memang costumer kita orang-orang yang merasa mau membeli barang bagus, enggak mau membeli barang yang asal murah. Karena mereka tahu, kenapa suatu barang murah itu ada alasannya.
Jadi berbisnis dengan idealisme itu perlu waktu untuk membangun reputasi? Awal-awal enggak mungkin kerjaan kita, karena belum punya customer loyalty. Orang (ragu) merasa bagus enggak? Nah mau enggak mau awalnya terbatas banget kapasitas atau kemampuan kita membangun gedung yang bagus.
ADVERTISEMENT
Tahun pertama kita bangun brand dulu, kita membangun kepercayaan orang. Filosofinya bagaimana kita membangun kualitas bagus, tapi harga terjangkau. Gedung bagus itu bukan berarti super mahal, selain itu juga orang mau membayar lebih itu kadang-kadang bukan bayar gedung doang kan? Tapi karena servis.
Masalahnya kalau selesai gedungnya, developernya masih ada enggak? Itu problemnya. After sales service-nya ini. Sehingga orang banyak sekali terjebak dengan harga murah. Kita ini kan bangun sendiri, kita bisa bangun kalau bisa bangun lebih murah lagi. Tapi enggak bisa di bawah level tertentu. Jadi punya standar.
Selama ini Crown Group fokus bisnisnya di apartemen. Apa yang membuat masuk ke perhotelan? Tertarik dengan hotel, kita tuh awalnya begini. Sydney itu kan banyak banget orang suka. Jadi saya mikir, alangkah baiknya juga kita membuat satu hotel. Sehingga orang mempunyai pengalaman tinggal di propertinya Crown Group.
ADVERTISEMENT
Kalau apartemen kan, 300 apartemen ketemu 300 pembeli, ya sudah selesai. Kalau hotel, punya 72 kamar kan kali 365 hari setahun, jadi 25 ribu kamar per tahun di satu gedung. Jadi dengan ini saya masuk akal membuat proyek. Kalau mereka mengalami sendiri, “Oh gini loh proyeknya Crown Group.” Jadi ada 25 ribu orang per tahun bisa lihat proyek kita dan merasakannya langsung.
Chairman yang juga CEO Crown Group, Iwan Sunito.  (Foto: Dok. Crown Group)
zoom-in-whitePerbesar
Chairman yang juga CEO Crown Group, Iwan Sunito. (Foto: Dok. Crown Group)
Bagaimana rencana ekspansi di luar Sydney? Sekarang ini 90 persen proyek kita di Sydney. Tapi secara garis besar kita mau 2021 mulai mengubah proyek kita ini. Sidney akan menjadi 50 persen sampai 60 persen pipe-line kita. Jadi mulai 2021 Indonesia akan menjadi nomor dua terbesar proyek kita. Setelah itu terus Melbourne. Terakhir Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Indonesia banyak banget potensi proyek-proyek yang kita bisa garap dan banyak sekali di Indonesia yang mengajak kita untuk kerja sama. Misalnya kalau di Jakarta, perusahaan properti Jaya Ancol. Mereka punya lahan, kita punya skill membangun. Kita kerja sama. Setelah Jakarta, mungkin ke Surabaya. Tapi saya juga tertarik cari proyek di Bali, bikin resort.
Soal perizinan proyek properti, bagaimana perbandingan di Sydney dengan di Indonesia? Secara prinsip sama saja. Tapi saya akui, di Sydney lebih transparan. Jadi tahu, kapan izin di-approve. Kalau bangunan sampai enggak jadi, konsumen enggak perlu bayar. Karena uang muka disimpan di trust account, yang bertanggung jawab lawyer. Kita developer enggak bisa pakai uang konsumen.
Jadi proyek-proyek Crown Group dibiayai modal sendiri. Sekitar 70 persen dari pinjaman bank. Jadi kalau bicara modal investasi, apa enggak deg-degan gelontorin uang sebesar itu? Makanya kita enggak sembarangan mengelola bisnis properti ini.
Sejumlah calon konsumen sedang melihat-lihat maket bangunan proyek Mastery milik perusahaan properti Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah calon konsumen sedang melihat-lihat maket bangunan proyek Mastery milik perusahaan properti Crown Group di Sydney, Australia. (Foto: Wendiyanto/kumparan)
Sekarang Anda sudah sukses di bisnis properti. Bertahan lebih dari 20 tahun, dan masih terus ekspansi. Apa kiatnya? Menurut saya, tips sukses menjadi pengusaha itu, fokus satu hal saja. Dari awal saya mau jadi developer dan dari awal saya tertarik bikin perumahan. Pengalaman dari hidup saya, lihat ke belakang, setiap saya masuk bisnis yang saya enggak mengerti, maka saya rugi. Sementara kalau di bisnis yang kita kuasai, kalau pun kita gagal kita tahu cara gagalnya, supaya bikin get better.
ADVERTISEMENT
Kan misalnya waktu resesi 2008, di New South Wales properti tidak bisa laku. Teman-teman pada jualin propertinya, sampai akhirnya keluar dari properti. Saya bilang, kalau kita berhenti kita mau kerjain apa? Bikin usaha yang lain enggak ngerti. Buat ngerti butuh waktu 5 sampai 20 tahun. Mending saya teruskan waktunya saja (di bisnis properti).
Bagi saya bisnismen kayak petani. Kalau sudah menanam satu bibit jangan ditinggal. Rawat sampai berbuah. Kembangkan suatu saat supaya kebunnya jadi hutan. Sering kali menanam, lalu saat musim kemarau ditinggal. Harusnya cari solusi jadi ketika kemarau datang lagi, kita tahu cara menanganinya.
Mengelola bisnis itu kita kayak pohon. Kalau tiap kali mengalami kemarau, pohonnya kita cangkokin ke yang lebih subur, masalahnya akarnya enggak pernah dalam. Jadi saat badai datang cepat tumbang. Kemarau itu good for us. Pengalaman saya resesi kemarin, kita malah dapat untung lebih banyak, karena orang banyak cabutin pohonnya.
ADVERTISEMENT