Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Bisnis batu bara yang seret, membuat perusahaan energi terintegrasi INDIKA Energy Tbk (INDY) melebarkan sayap ke usaha tambang emas. Perusahaan bahkan menambah kepemilikan saham di perusahaan tambang Australia, Nusantara Resources Limited (NUS).
ADVERTISEMENT
CEO yang juga Managing Director INDIKA, Aziz Armand, menyatakan saat ini pihaknya menguasai 21 persen saham emiten di Australia Stock Exchange (ASX) itu. NUS memiliki anak usaha PT Masmindo Dwi Area yang memiliki konsesi lahan tambang di Palopo, Sulawesi Selatan.
“Konstruksi pertambangannya baru akan mulai tahun depan (2020). Jadi mungkin baru ada kontribusi ke perusahaan pada 2022 atau awal 2023,” kata Aziz dalam perbincangan dengan media di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (31/10).
Dia melihat diversifikasi usaha ke tambang emas sebagai keputusan tepat. Apalagi tren harga jenis mineral itu terus meningkat. INDY membeli saham NUS di harga 23 sen dolar dan kini harganya telah naik jadi 29 hingga 30 sen dolar.
Chief Investment Officer INDIKA Energy, Purbaja Pantja, menambahkan transaksi terjadi saat harga emas di kisaran USD 1.259 per ounces. Saat ini harganya sudah di kisaran USD 1.500 per ounces.
ADVERTISEMENT
Selain ekspansi ke tambang emas, INDIKA Energy juga mendirikan dua perusahaan baru di bidang teknologi. Kedua perusahaan itu, PT Xapiens Technology Indonesia dan PT Zebra Cross Technology, menyasar peluang dari tren dan tuntutan kebutuhan industri 4.0.
“Kami patok target, kontribusi bisnis-bisnis baru itu bisa sampai 25 persen dari total laba perusahaan. Tapi saat ini memang belum karena masih baru,” ujar Aziz.
Sementara itu hingga kuartal III 2019, INDIKA Energy membukukan kerugian sebesar USD 8,6 juta atau sekitar Rp 120,4 miliar (Kurs Rp 14.000) pada kuartal III 2019 ini. Raihan itu berbanding terbalik dibandingkan periode sama tahun lalu, yang mencatatkan laba bersih USD 112,17 juta atau Rp 1,57 triliun.
Dia menilai, bisnis batu bara Indonesia 2019 lebih menantang dibanding 2018. Permintaan cenderung flat. Padahal produksi naik karena tidak terlalu banyak hujan. Jadi produksi nasional melebih target. Produksi batu bara global juga naik sehingga cenderung oversupply. akibatnya harga baru bara merosot.
ADVERTISEMENT
“Ke depan saya kira juga arahnya akan seperti itu. Apalagi seperti di Eropa itu campaign ‘No Coal’-nya gencar sekali,” kata CEO INDIKA Energy, Aziz Armand.