news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Blue Bird: Sempat Terpukul Taksi Online, Kini Bangkit Lagi

28 Juni 2019 15:59 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Noni Purnomo, Direktur Utama Blue Bird. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Noni Purnomo, Direktur Utama Blue Bird. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2016 menjadi tahun yang berat bagi perusahaan-perusahaan taksi konvensional, tak terkecuali PT Blue Bird Tbk (BIRD). Pada sisi lain, tahun itu menjadi awal mula yang fenomenal bagi pertumbuhan transportasi online di tanah air, terutama bagi GoJek dan Grab.
ADVERTISEMENT
Betapa tidak, pada 2016 laba bersih Blue Bird merosot menjadi Rp 507 miliar. Lalu tergerus lagi di 2017, menjadi Rp 424 miliar. Padahal di 2015, atau tahun di mana transportasi online belum berkembang sedemikian besar, Blue Bird sanggup meraup laba bersih Rp 824 miliar.
Direktur Utama Blue Bird, Noni Purnomo menceritakan, laba perusahaan mulai tergerus di 2016 karena aplikator transportasi online menebar promo jor-joran yang menyebabkan harga begitu murah. Hal itu membuat banyak masyarakat beralih menggunakan transportasi online.
“Kalau buat Blue Bird sebenarnya (fenomena ini) bukan technology disruption, tapi price disruption. Nah jadi memang itu impact-nya besar sekali untuk kita. Karena namanya juga (transportasi online) baru kan, jadi banyak orang yang ingin coba,” kata Noni kepada program The CEO kumparan di Kantor Pusat Blue Bird, Jakarta Selatan, Kamis (20/6).
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, harga taksi online bisa begitu murah karena aplikator memberikan subsidi tarif untuk penumpang. Di samping itu, aplikator juga tidak menanggung biaya perawatan armada taksi online, tak juga melakukan uji KIR.
“Memang harganya yang ditawarkan murah sekali karena rugi kan sampai sekarang. Sedangkan kita fokus kepada sustainability,” beber Noni.
Menurut dia, sebenarnya Blue Bird telah meluncurkan aplikasi pemesanan taksi melalui handphone di 2011. Namun karena pada waktu itu infrastruktur telekomunikasi belum berkembang pesat, aplikasi yang diluncurkan itu belum diterima masyarakat.
“Pada saat kita meluncurkan, ternyata masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan melakukan pemesanan taksi melalui apps. Pada saat itu infrastruktur kita juga masih GPRS. Jadi market acceptance-nya itu enggak siap,” ujarnya.
Perjalanan Noni Mengaspal Bersama Blue Bird. Foto: kumparan
Ketika itu, Noni mengaku berpikir bahwa masyarakat Indonesia tak menyukai pemesanan taksi melalui aplikasi handphone. Oleh karena itu pada rentang waktu 2011-2016, Blue Bird hanya mengembangkan layanan pemesanan taksi secara konvensional, yakni dengan mencegat di jalan, menelpon call center, atau mendatangi pool taksi.
ADVERTISEMENT
“Kita telah melakukan upgrade. Karena begitu kita jadi ada wake up call, ah mungkin kita pada saat itu kurang peka untuk melihat perubahan-perubahan yang ada di luar,” kata Noni.
Dia pun mengungkapkan pada awal mula transportasi online berkembang pesat, driver Blue Bird juga banyak yang beralih menjadi driver transportasi online. Sebab pada waktu itu aplikator menawarkan benefit yang tak bisa didapatkan di Blue Bird.
Namun seiring berjalannya waktu, menurut Noni, driver yang beralih ke transportasi online secara perlahan itu kembali ke Blue Bird. Hal itu dikarenakan driver tak perlu menanggung biaya maintenance armada, hingga terdapat insentif lain.
“Sedangkan yang setelah 2 tahun mereka join online, itu kan setelah 2 tahun biaya maintenance segala macam kan mulai meningkat. Ya mungkin tidak dihitung sebelumnya. Kalau di Blue Bird meskipun sistemnya komisi, tapi kan kita ada fasilitas-fasilitas. Contoh fasilitas soft loan untuk perumahan. Kemudian yang pergi umrah setiap tahun dan beasiswa anak-anaknya,” jelas Noni.
Noni Sri Ayati Purnomo, Direktur Utama Blue Bird. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Dia menambahkan ketika bisnis model pemesanan taksi kini juga berkembang di sistem online, pihaknya pun mengembangkan aplikasi perusahaan yang dinamakan My Blue Bird. Selain itu, Blue Bird juga berkolaborasi dengan GoJek dan Traveloka untuk pemesanan taksi. Pihaknya mencatat pada saat ini, 40 persen pemesanan sudah melalui aplikasi dari ketiga platform itu, sementara 60 persen sisanya melalui pemesanan konvensional. Alhasil pada tahun 2018 lalu, laba bersih perusahaan mulai merangkak naik menjadi Rp 457 miliar.
ADVERTISEMENT
“Jadi memang itu (taksi online) hit badly, cukup besar pada saat 2016-2017. Tapi alhamdulillah di 2018 mulai pick up lagi. Nah itu kembali lagi karena banyak pelanggan kita yang merasa, oh ternyata dari segi safety, dari segi kenyamanan itu Blue Bird masih lebih baik,” katanya.
BYD e6 jadi armada taksi listrik Blue Bird. Foto: Ghulam Muhammad Nayazri / kumparanOTO
Selain Jabodetabek, menurut Noni, Blue Bird juga beroperasi di 18 kota. Untuk wilayah Jabodetabek, saat ini perang harga sudah tak terlalu mempengaruhi bisnis. Namun untuk beberapa daerah, tarif transportasi online yang begitu murah masih mempengaruhi keputusan masyarakat menggunakan armada taksi.
“Sekarang iya (ada daerah yang masih disubsidi agar tetap beroperasi), beberapa. Iya kalau daerah terutama, sangat sensitif terhadap harga. Nah itu sebenarnya itu challenge kita yang paling besar, kita kan pinginnya pengemudi jangan mentalnya down,” ujar Noni.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut, alasan Blue Bird tetap mempertahankan layanan di daerah yang merugi, yakni karena tak ingin kehilangan pelanggan setia Blue Bird. Terlebih saat ini masih terdapat korporasi yang mewajibkan memakai Blue Bird ketika kunjungan ke daerah.
“Jangan sampai customer Blue Bird yang loyal, dia tahu kalau di kota itu ada Blue Bird, terus tiba-tiba enggak ada. Jadi kita mempertahankan layanan dari situ. Jadi sekarang kita fokus meningkatkan penggunaan Blue Bird lagi di daerah-daerah supaya kita bisa tetap eksis di situ,” pungkasnya.