BP Batam Beberkan Awal Mula Proyek Rempang Eco City hingga Terjadi Konflik

13 September 2023 20:39 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam berada di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam yang rusak akibat aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/9/2023). Foto: Teguh Prihatna/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam berada di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam yang rusak akibat aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/9/2023). Foto: Teguh Prihatna/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menjelaskan awal mula proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang hingga terjadi konflik antar warga dengan pihak kepolisian. Proyek Rempang Eco City merupakan program strategis nasional 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7/2023.
ADVERTISEMENT
Rudi menjelaskan, proyek ini dimulai dengan penandatangan MoU oleh PT MEG dengan Otorita Batam yang disaksikan oleh PJ Gubernur. Dalam perjanjian tersebut, proyek ini digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) di atas 17.600 hektar yang terbagi 10.280 hektare untuk hutan lindung dan 7.572 hektar digunakan untuk investasi.
Total investasi yang akan digelontorkan dari proyek di Kawasan Rempang ini sekitar USD 11,5 miliar atau sekitar Rp 117,42 triliun. Pada tahap awal, proyek ini akan diselesaikan di atas 2.000 hektar lahan. Penyediaan lahan untuk 2.000 hektar ini ditargetkan rampung pada 28 September 2023.
Rudi mengatakan, penyerahan SK HPL kepada Batam sudah diberikan sejak 14 April. Di atas 17.600 hektar tersebut terdapat 2.632 kartu keluarga (KK) yang akan direlokasi. Namun, yang didahulukan dalam proyek ini adalah di lahan 2.000 hektar yang membentang di 4 perkampungan.
ADVERTISEMENT
"Dan pada waktu itu kami coba turun di lapangan sehingga masyarakat gampang jumlahnya lebih kurang 2.632 KK untuk 17.600 hektare tapi karena kebutuhannya 2.000 kita dahulukan ada 4 perkampungan, 3 di 2.000 hektar dan yang 1 di luar 2.000 hektar karena mau dibangun tower PT MEG sendiri," kata Rudy saat rapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (13/9).
Rudy menjelaskan pada awalnya, komunikasi warga dan pemerintah daerah terkait proyek ini berjalan baik-baik saja. Namun, seiring berjalannya waktu ketika proyek berjalan tiba-tiba ada provokator dari luar masyarakat yang membuat memperkeruh masalah.
Ia menduga salah satu provokator dari konflik ini adalah pengusaha yang menguasai lahan di 17.600 hektare tersebut. Ia memperkirakan salah satu alasannya adalah karena ada pengusaha yang mendirikan usaha di lahan 100 hektar yang statusnya hutan lindung HPL.
ADVERTISEMENT
"Awalnya bagus saja, tapi setelah kita masuk sepertinya banyak masuk provokator dari luar sehingga masyarakat berpikiran lain. Yang dari luar ini karena banyak pengusaha menguasai lahan di atas 17.600 hektare. Ini ada yang menguasai 100 hektar, ada yang 200 hektar," tutur Rudy.
Ia menyebut, pihak tersebut telah memprovokasi masyarakat yang berada di 16 kampung masuk ke dalam 17.000 ribu lahan. Mereka mengumpulkan kekuatan untuk meminta agar kampung tua tidak dipindahkan.
"Padahal kampung tua yang dipindahkan kita ingin mengubah taraf hidup mereka sebetulnya. Kita sudah menilai melalui BPS harga rumah mereka tinggal hari ini antara Rp 10 juta mungkin sampai kalo yang di pesisir mungkin Rp 100 juta saja," ujar Rudy.
ADVERTISEMENT
Rudy juga mengatakan, pemerintah memberikan uang ganti rugi untuk pembebasan lahan ini senilai Rp 120 juta per rumah untuk 500 m2. Untuk skema ini, BP Batam mengajukan ke pemerintah pusat agar dibantu APBN, Tapi dalam perjalannya, pemerintah pusat belum juga memberikan persetujuan sekitar Rp 850 milliar.
"Makanya kami coba dengan anggaran BP Batam, apa yang bisa kami selesaikan di 2.000 hektar," ujarnya.
Rudi mengeklaim investasi yang masuk dari China juga dikembalikan lagi untuk kesejahteraan rakyat Pulau Rempang. BP Batam bisa menerima uang sewa dari investor di atas lahan 7.572 hektar selama 30 tahun Rp 1,4 triliun. Sedangkan biaya untuk relokasi Rp 1,6 triliun.
"Artinya apa yang kita dapat di Pulau Rempang, sewa lahan akan kami habiskan untuk kami bangun demi kesejahteraan masyarakat Rempang," ujarnya.
Pulau Rempang. Foto: Wikimedia Commons
Ia juga mengungkapkan investasi perusahaan asal China, Xinyi Group, untuk pembangunan pabrik kaca di Pulau Rempang, Batam, akan batal jika lahan di kawasan yang ingin dikembangkan tak kunjung tersedia.
ADVERTISEMENT
Rudi menyebut deadline penyediaan lahan 2.000 hektare yang bakal dipakai itu diharapkan dapat selesai pada 28 September 2023. Dari kawasan tersebut, rencananya akan dibangun 13 proyek.
Aksi ricuh diawali oleh para warga melawan lantaran enggan untuk direlokasi dan berunjuk rasa di depan kantor BP Batam, Senin (11/9) lalu. Mereka berteriak dan melempar botol minuman, demikian keterangan tertulis Humas BP Batam.