BPK: Potensi Denda Freeport Akibat Telat Bangun Smelter Capai Rp 7,7 T

5 Desember 2023 13:58 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo (Kiri) meninjau perkembangan pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur. Foto: PTFI
zoom-in-whitePerbesar
Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo (Kiri) meninjau perkembangan pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur. Foto: PTFI
ADVERTISEMENT
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat nilai potensi denda administratif yang perlu dibayarkan PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada negara atas keterlambatan pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) sebesar USD 501,95 juta atau setara Rp 7,77 triliun (kurs Rp 15.494).
ADVERTISEMENT
Smelter tembaga tersebut berada di Manyar, Gresik, Jawa Timur. Keterlambatan pembangunan ini menyebabkan PTFI mendapatkan relaksasi ekspor konsentrat tembaga hingga tahun 2024, yang seharusnya disetop pada pertengahan tahun 2023.
Dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023 yang diterima kumparan, BPK mengungkapkan perhitungan realisasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian PTFI tidak sesuai dengan ketentuan.
"Laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan sebelum adanya perubahan rencana pembangunan fasilitas pemurnian PTFI tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik," jelas dokumen tersebut, dikutip Selasa (5/12).
BPK melanjutkan, hasil perhitungan persentase kemajuan fisik dibandingkan dengan rencana kumulatif menggunakan kurva S awal menunjukkan bahwa progres yang dicapai PTFI tidak mencapai 90 persen, sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan denda administratif keterlambatan pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam.
Foto udara pembangunan smelter baru PT Freeport Indonesia (PTFI) pada akhir Juli 2022. Foto: Dok. PTFI
BPK pun melakukan penghitungan potensi denda dengan menggunakan data realisasi penjualan ekspor PTFI dan diperoleh nilai potensi denda administratif keterlambatan sebesar USD 501,94 juta.
ADVERTISEMENT
"Hal ini mengakibatkan negara berpotensi tidak segera memperoleh penerimaan denda administratif dari PTFI sebesar USD 501,94 juta," pungkas BPK.
Sebelumnya, berdasarkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pemerintah mengharuskan proyek smelter tembaga PTFI rampung selama 5 tahun sejak IUPK diberikan yaitu hingga 21 Desember 2023.
Direktur Utama PTFI, Tony Wenas, menyebutkan perusahaan pun mengajukan perubahan kurva-S kepada Kementerian ESDM karena proyek mengalami keterlambatan karena COVID-19. "Kami mengajukan kurva-S yang baru ini, yaitu sampai dengan akhir 2023 konstruksi fisik selesai, kemudian 2024 mulai bisa produksi dan selanjutnya ramp up," ujar Tony saat rapat dengan Komisi VII DPR, Senin (6/2).
Tony menuturkan, kemajuan proyek Smelter Manyar sampai akhir Januari 2023 secara kumulatif yaitu kemajuan fisik sebesar 54 persen. Menurut dia, hal ini melampaui rencana kurva-S yang telah disetujui pemerintah sebelumnya 52,9 persen sampai Januari.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan kurva-S inilah diberikan persetujuan ekspor yang di tahun 2022 itu 2 juta ton dan di RKAB kami di tahun 2023 yang sudah disetujui oleh Kementerian ESDM termasuk ekspor sebanyak 2,3 juta ton konsentrat," tuturnya.
Adapun Kementerian ESDM menetapkan beberapa denda administratif untuk perusahaan yang mendapatkan relaksasi ekspor mineral mentah hingga tahun 2024. Denda ini dikenakan atas keterlambatan pembangunan smelter.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 89 Tahun 2023, sanksi pertama berupa penempatan jaminan kesungguhan 50 persen dari penjualan selama periode 2019-2022 yang dikumpulkan dalam rekening bersama.
Namun, apabila pada 10 Juni 2024 pembangunan smelter tidak mencapai 90 persen dari target, maka jaminan kesungguhan ini disetorkan seluruhnya ke kas negara.
ADVERTISEMENT
Saksi berikutnya berupa pengenaan denda administrasi atas keterlambatan pembangunan smelter, sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan.
Hal ini berdasarkan pertimbangan dampak pandemi COVID-19 dan berdasarkan laporan verifikator independen paling lambat disetorkan 60 hari sejak beleid tersebut berlaku atau pada 16 Mei 2023.
Selain itu, penjualan hasil pengolahan selama masa relaksasi ekspor tersebut, perusahaan wajib membayar bea keluar atau pajak ekspor yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).