BPS Anggap Perbedaan Data di Kementerian Bisa Hambat Implementasi Kebijakan

4 Desember 2022 9:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi data personal. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi data personal. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) menganggap penghimpunan data yang berbeda dari kementerian atau lembaga pelat merah seringkali menimbulkan kebingungan di publik. Situasi disebut diskrepansi ini berpotensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.
ADVERTISEMENT
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS, Ahmad Avenzora, mengatakan multitafsir terhadap data yang berbeda-beda disebut akan memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPS.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes. Sebaliknya, Kemenkes menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Ahmad Avenzora menjelaskan mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei, sampai waktu pengambilan data.
ADVERTISEMENT
“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” ungkap Ahmad Avenzora melalui keterangan tertulis, Minggu (4/12).
Ahmad Avenzora mengungkapkan perbedaan pendekatan itu pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun. Sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, di mana terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.
Ilustrasi data center. Foto: Erik Isakson/Getty Images
Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah, Nur Rohim Yunus, menilai diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.
ADVERTISEMENT
“Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya di Kementerian Kesehatan,” ujar Nur Rohim.
Menurutnya Kemenkes semestinya merujuk pada data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara. Namun, ia melihat Kemenkes justru mengambil data dari lembaga asing sebagai rujukan. Nur Rohim merasa hal itu malah memperparah diskrepansi data yang ada dan memunculkan kesan BPS terpinggirkan oleh lembaga asing.
Nur Rohim menjelaskan sebenarnya pemerintah juga telah berupaya mengentaskan tantangan diskrepansi data antar kementerian atau lembaga melalui penerbitan Perpres 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Beleid itu mendorong kementerian atau lembaga sebagai produsen data untuk mengacu standar data yang disusun BPS. BPS juga perlu menjadi leading sector untuk mewujudkan data statistik yang berkualitas sebagai basis referensi kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Bila Visi SDI ini dapat terwujud dengan baik, maka tidak akan terjadi lagi diskrepansi karena data yang diambil oleh berbagai pihak berdasarkan pada sumber yang sama. Tentunya data yang dirujuk harus akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan,” tutur Nur Rohim.