Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Rileks, namun tetap serius. Begitulah kesan yang ditangkap kumparan atas sosok Prijono Sugiarto, yang dijumpai pertengahan November lalu di kantornya, Menara Astra, Jakarta. Ini merupakan perjumpaan yang kesekian kalinya. Tapi istimewa karena menjadi semacam kunjungan balasan.
ADVERTISEMENT
CEO PT Astra International Tbk (ASII) itu, hampir setahun lalu pernah berkunjung ke kantor kumparan. Tepatnya pada 10 Agustus 2018. Berbeda dengan saat di kantor kumparan, pertemuan kali ini berlangsung di tengah agenda Prijono yang padat.
“Ini tadi pagi-pagi habis bikin SIM (Surat Izin Mengemudi) dulu,” katanya membuka pertemuan.
Kesibukan, tak membuatnya ngaret dari waktu yang dijanjikan. Persis pukul 09.00 WIB, Prijono menjumpai kumparan di lantai 62 Menara Astra, mengenakan kemeja denim dan celana kain warna hitam. Sebatang pulpen, terselip di antara kancing kemejanya. Tak membuang waktu, perbincangan bersama program The CEO kumparan pun dimulai.
Lulusan S1 Teknik Mesin, University of A. Sc. Konstanz, Jerman itu sangat menguasai berbagai lini bisnis dari perusahaan yang dipimpinnya. Mulai dari latar belakang bisnis otomotif yang digeluti Astra International, disrupsi ekonomi digital, hingga rencana pengembangan perusahaan ke depan. Bergabung dengan Astra International sejak 1990, dia didapuk menjadi presiden direktur pada 2010.
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang panjang itu, membuat perbincangan dengan Prijono terasa padat berisi. Lingkup omongannya menyangkut isu besar, tapi disertai penjelasan yang rinci dan detail. Sepelik apa pun persoalan, termasuk perlambatan ekonomi yang berdampak pada penurunan laba perusahaan, selalu bisa dilihat dari perspektif yang menumbuhkan optimisme.
Lini Bisnis Astra: Mayoritas Disokong Otomotif
Astra International merupakan perusahaan konglomerasi nasional yang berdiri sejak tahun 1957. Perusahaan yang didirikan William Soerjadjaja bersama beberapa orang tersebut, awalnya fokus ke bisnis perdagangan. Kemudian berkembang dan mulai masuk ke bisnis distribusi produk otomotif pada tahun 1969. Toyota menjadi mitra otomotif di awal perjalanan Astra International. Kerja sama pun berlanjut dengan pabrik otomotif dunia seperti Daihatsu, Isuzu, Peugeot, BMW, UD Trucks dan Honda Motor. Kemudian masuk ke peralatan perkantoran hingga alat berat yang semuanya pabrikan asal Jepang. Tak hanya sebagai distributor dan perusahaan manufaktur kendaraan, Astra Internasional juga masuk ke bisnis pembiayaan kendaraan untuk mobil, motor, alat berat, asuransi, hingga perbankan. Ada juga bisnis properti, tambang, perkebunan, pembangkit listrik, jalan tol hingga masuk ke modal ventura.
Namun, 60 persen bisnis Astra International tetaplah bertumpu dari industri otomotif. Meski masuk ke berbagai lini bisnis baru, Prijono menegaskan, pihaknya tidak akan meninggalkan bisnis otomotif yang membesarkan perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Penopang Astra yang utama adalah otomotif. Astra tidak lari dari otomotif. Not at all," kata Prijono.
Fokus tetap dilakukan meskipun industri otomotif sepanjang periode Januari-September 2019 sangatlah berat. Penjualan mobil secara nasional hanya 753.594 unit. Angka ini turun 12 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebanyak 856.559 unit kendaraan.
Sementara penjualan mobil di bawah naungan Astra International mencapai 396.138 unit, turun 6,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 424.406 unit.
Prijono menyebut industri otomotif di Indonesia tahun ini relatif stagnan bahkan trennya menurun karena sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh di kisaran angka 5 persen selama beberapa tahun terakhir. Belum lagi harga komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara juga turun sehingga mempengaruhi penurunan penjualan kendaraan roda 4 di sentra perkebunan dan pertambangan di Kalimantan dan Sumatera.
ADVERTISEMENT
"Mobil 9 bulan turun 11-12 persen (penjualan seluruh merek, termasuk di bawah naungan Astra). Motor masih naik 4 persen tapi enggak great. Jadi kenapa bisnis otomotif turun karena (situasi ekonomi). Market share kami (memang) naik jadi 53 persen. But, we need volume," sebutnya.
Jasa Keuangan Penopang Pendapatan di Tengah Perlambatan
Pada periode Januari-September 2019, Astra International mencatatkan pendapatan bersih Rp 177,04 triliun. Naik tipis dari periode sama tahun 2018 yang senilai Rp 174,88 triliun. Namun, laba bersih perseroan turun 7 persen ke Rp 15,86 triliun. Di tengah perlambatan ekonomi dan turunnya laba, sektor jasa keuangan dan investasi baru mampu menjadi pendongkrak pendapatan group Astra International. Meski laba menurun, Prijono menilai kinerja keuangan perusahaan tidak terlalu buruk karena efisiensi telah dijalankan dengan baik.
ADVERTISEMENT
"Dibantu dengan kenaikan improvement di jasa keuangan. Itu yang sebabkan Astra hanya turun 7 persen. Jadi yang masih penopang kuat itu jasa keuangan dan tambang emas kita yang kita akuisisi tahun lalu. Itu sudah produksi dan jadi duit langsung. Saya harap tahun 2021 awal, pembangkit duit kita jadi duit langsung. Jalan tol kita sudah membuahkan, bahkan 2024 hasilnya bagus," sebutnya.
Di saat bersamaan, Astra International juga mencari sumber pendapatan baru non-otomotif. Perusahaan masuk ke proyek infrastruktur dan pembangkit listrik.
"Indonesia lagi membangun, Pak Jokowi bangun 35.000 MW, why we don't participate. Jalan tol juga gitu. Jalan tol kami Desember ini 6 beroperasi jadi 350 km. Itu lumayan kalau sudah membuahkan, tahun depan sudah positif," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Prijono menekankan, Astra International selalu berinvestasi untuk jangka menengah dan jangka panjang. Perusahaan tidak hanya berpikir untung dalam jangka pendek. Begitu pula saat Astra International masuk bisnis pembiayaan ventura dan menyuntik pendanaan ke startup unicorn, Gojek senilai USD 150 juta atau setara Rp 2 triliun. Perusahaan menilai Gojek memiliki prospek jangka panjang karena telah membangun ekosistem ekonomi digital, meskipun di awal-awal masih 'membakar uang'. Masuknya perusahaan ke startup tentunya juga saling mendukung dan berkolaborasi dengan lini bisnis Astra International.
Perusahaan harus masuk ke model bisnis digital. Bila tidak, bisnis perusahaan akan turun ke depannya.
Prijono masih percaya kebutuhan akan kendaraan pribadi seperti roda 2 dan 4 tetap tumbuh meskipun transportasi publik dan transportasi sharing (ojek dan taksi online) semakin tumbuh. Ia berargumen, rasio kepemilikan kendaraan roda 4 di Indonesia masih rendah, yakni 90 kendaraan setiap 1.000 orang. Sementara negara maju sudah di angka 600-800 kendaraan setiap 1.000 orang. Bahkan negara tetangga Thailand rasionya sudah 200.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ia berkaca ke Jepang. Meski di sana transportasi publik sudah sangat baik dan masyarakat memilih menggunakan angkutan umum untuk berangkat kerja atau beraktivitas, namun mayoritas rumah tangga memiliki kendaraan pribadi. Mereka menggunakan mobil di saat akhir pekan.
"Si China maker (Wuling) masuk ke Indonesia, kapasitas 100.000 tapi utilisasi hanya 15 persen. Karena mereka melihat future, apalagi kami adalah pemain dari tahun 1969 bersama Toyota. Masa kami mau lari dari situ, enggak benar," tegasnya.
Belum Mau Masuk ke Mobil Listrik
Pemerintah menargetkan, di tahun 2025, sebesar 20 persen kendaraan harus ramah lingkungan. Sementara beberapa kota di dunia seperti Paris, Madrid, hingga Meksiko City akan melarang penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) pada 2025. Mereka mendorong kendaraan ramah lingkungan seperti hybrid (plug-in Hybrid Electric Cars/PHEVs) dan mobil listrik memakai baterai. Pada tahun 2018, penjualan kendaraan ramah lingkungan ini sebanyak 1,97 unit, di mana 55 penjualan berasal dari China.
ADVERTISEMENT
Terkait tren mobil listrik, Astra International belum mau langsung terjun 100 persen ke penjualan dan pengembangan mobil listrik dengan baterai. Perusahaan fokus ke mobil hybrid, semi listrik sebagai lompatan dan baru kemudian masuk ke fully battery. Alasannya, tingkat keekonomian baterai belum layak secara bisnis, sehingga harga mobil listrik dengan penggerak baterai masih mahal untuk saat ini.
"Cost battery masih mahal USD 200 per KwH. Orang mengatakan study McKinsey itu USD 100 per KwH by when 2030," tambahnya.
Meskipun pemerintah mensyaratkan penjualan mobil listrik sebesar 20 persen pada 2025, namun Prijono menilai itu tak semuanya fully battery, harus dikombinasikan atau diawali dengan plug-in Hybrid.
Selain tingkat keekonomian, fasilitas charging station atau SPLU juga belum tersedia secara masif.
ADVERTISEMENT
"Kalau battery problematic-nya charging station is important. Terus ketersediaannya (gimana?), kena macet bisa game over. Ngedorong, (karena) enggak charging station. Kalau di luar negeri, jalanan ada charging station," ujarnya.
Terkait tingginya populasi mobil listrik di negara maju seperti Norwegia (market share penjualan mobil listrik 46 persen di 2018) atau tingginya penjualan mobil listrik di China (1,1 juta unit di 2018), hal itu belum bisa menjadi pertimbangan utama. Alasannya, negara-negara tersebut masih memberikan subsidi agar harga dan biaya operasional mobil listrik bisa murah.
"Jangan lupa, harganya berapa? Saya berkunjung ke China. (Harga asli) Rp 500 juta, dijual berapa? Rp 350 juta. Terus government subsidy 40 persen. Moment of truth-nya terjadi saat subsidinya dicabut. Penjualan turun. Tesla jual di Hong Kong itu USD 70.000. Sekarang tanpa subsidi jadi USD 180.000," ungkapnya.
ADVERTISEMENT