Buka-bukaan Bos BPJS Kesehatan soal Iuran Harus Naik

12 September 2019 13:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat melakukan kunjungan ke kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat melakukan kunjungan ke kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Masalah utama BPJS Kesehatan sejak awal berdiri pada tahun 2014 adalah defisit. Dalam bahasa sederhana, pendapatan dari iuran tidak bisa menutup pengeluaran yang semakin naik seiring bertambahnya jumlah peserta. Data per 6 September 2019, total peserta jaminan kesehatan mencapai 222.044.088 juta atau setara 84,1 persen dari total penduduk Indonesia. Di awal berdiri, total peserta sebesar 133.423.653 jiwa.
ADVERTISEMENT
Tahun 2019, defisit BPJS Kesehatan diprediksi mencapai angka Rp 32,8 triliun. Ujung-ujungnya, pemerintah akan turun tangan lagi sebagai juru selamat, yakni menutup defisit. Tentu pengeluaran pemerintah lebih dari itu, karena harus membayar denda keterlambatan iuran hingga membayar iuran Peserta Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 96,8 juta jiwa di 2019. Total belanja pemerintah untuk iuran PBI mencapai Rp 26,7 triliun. Angka ini bisa membengkak bila opsi kenaikan iuran dilakukan mulai 1 Januari 2020.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, memaparkan solusi utama menyelesaikan defisit adalah menaikkan iuran. Fachmi menyebut defisit bisa melebar hingga Rp 77 triliun di 2024 bila tidak ada tindakan sama sekali. Seperti jika usulan kenaikan iuran ditolak, namun layanan BPJS Kesehatan diminta untuk naik.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita diam, iuran dibiarin. Masyarakat menolak naikkan iuran, minta naikkan service. Itu defisitnya segitu," kata Fachmi saat berkunjung ke kantor kumparan, di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (11/9).
Kenaikan iuran terakhir dilakukan pada tahun 2016. Menurut aturan, iuran wajib disesuaikan setiap 2 tahun sekali. Meskipun terjadi kenaikan iuran pada tahun 2016 silam, kenaikan iuran tersebut masih di bawah perhitungan aktuaria, khususnya untuk kelas 2 dan kelas 3. Sementara iuran kelas 1 sudah sesuai usulan.
"Kelas 3 harusnya Rp 53.000, enggak sampai Rp 2.000 per hari. Diputuskan Rp 25.500, gedean diskon daripada iuran. Kelas 2 sebetulnya Rp 63.000, diputuskan Rp 51.000. Ada gap Rp 12.000. Hanya kelas 1 yang sesuai," sebutnya.
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris (tengah) saat melakukan kunjungan ke kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Setelah itu, tak ada lagi kenaikan iuran hingga hari ini. Akhirnya defisit melebar. Fachmi menuturkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun turun tangan untuk mengetahui pemicu defisit karena setiap tahun harus menutup defisit yang jumlahnya terus bertambah. Melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Sri Mulyani mendapat jawabannya.
ADVERTISEMENT
Ternyata masalah defisit yang dipicu oleh potensi fraud (kecurangan) dan tunggakan iuran tidak signifikan.
"Bu Sri Mulyani ingin lihat mismatch (defisit) karena fraud rumah sakit atau orang-orang (peserta) enggak bayar banyak. Kami senang BPKP turun, ternyata potensi fraud 1,07 dari spending tahun lalu Rp 94,3 triliun," ungkap Fachmi.
Dengan asumsi tingkat kolektibilitas peserta tinggi atau mencapai 100 persen dan potensi fraud bisa ditekan hingga 0 persen, tetap saja BPJS Kesehatan harus menanggung defisit. Jadi pemicunya adalah iuran terlalu rendah.
"Jadi kalau ini (iuran) terkumpul 100 persen, fraud 0 persen, ternyata mismatch (masih defisit). Kesimpulannya iurannya enggak sesuai, jadi Bu Sri Mulyani confident ngomong ini (usul kenaikan iuran hingga 100 persen)," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Karena hasil temuan BPKP itu, Sri Mulyani kemudian mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen untuk kelas 1 dan kelas 2. Kemudian kelas 3 diusulkan naik 65 persen. Kenaikan iuran kelas 1 yaitu dari semula Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Sementara iuran kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Untuk kelas 3, usulannya dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Usulan kenaikan kelas 3 ditahan parlemen dengan catatan pemerintah harus menyelesaikan data cleansing bila ingin menyesuaikan iuran. Adapun data cleansing bermaksud untuk memastikan masyarakat miskin masuk dalam kategori PBI BPJS Kesehatan. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terdapat 10 juta data peserta yang harus ditelusuri, apakah peserta itu bisa masuk PBI atau kelas 3 non-PBI.
ADVERTISEMENT
Bila kenaikan iuran bisa dilakukan, defisit BPJS Kesehatan bisa teratasi hingga 2024.
"Sampai 2024 enggak ada defisit. 2 tahun pertama berat, setelah itu rapi," tambahnya.
Solusi Mengatasi Tunggakan Iuran
Guna menaikkan angka kolektibilitas iuran, khususnya untuk pekerja non-formal, BPJS kesehatan melakukan berbagai upaya. Namun, Fachmi menilai salah satu upaya paling efektif adalah pendekatan hukum atau law enforcement, seperti yang telah dilakukan Korea Selatan.
Kolektibilitas program BPJS di Korsel terbilang rendah. yakni 24 persen selama periode 7 tahun. Namun, kolektibilitas merangkak naik hingga 93,6 persen setelah dilakukan pendekatan hukum. Caranya, otoritas jasa kesehatan diberi hak mengintip dan mendebet rekening penunggak iuran. Hukuman lain ialah penyitaan aset.
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat melakukan kunjungan ke kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Sementara di Indonesia, BPJS Kesehatan menawarkan berbagai solusi. Di antaranya pembatasan akses masuk ke sekolah, pembuatan SIM hingga pembuatan paspor. Namun, cara lain yang dinilai juga sangat efektif adalah pendekatan berbasis Teknologi Informasi (TI).
ADVERTISEMENT
"Kita mainnya TI aja," tambahnya.
Dengan pendekatan TI, data penunggak BPJS Kesehatan akan terhubung dengan jaringan layanan sosial dan masyarakat. Di sana bisa diterapkan sanksi.
Dalam pendekatan itu, BPJS Kesehatan salah satunya mencoba menerapkan ke sistem perbankan. BPJS Kesehatan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan percobaan agar penunggak iuran tidak bisa mengajukan pinjaman atau kredit.
Saat ditanya soal solusi lain seperti pencegahan penyakit, Fachmi menjelaskan hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri oleh BPJS Kesehatan. Aktivitas di hulu itu harus melibatkan Kementerian Kesehatan.
Program BPJS Berbasis Gotong-Royong, Harus Jalan
Fachmi kembali menegaskan bila program BPJS Kesehatan itu berbasis gotong-royong. Yang sehat membantu yang sakit atau yang kaya membantu yang miskin. Ketika seseorang sehat, dia akan membantu orang sakit dari iuran yang dibayarkan atau sebaliknya. Ketika yang sehat kemudian sakit, maka dia akan dibantu oleh peserta yang tadinya sakit kemudian sehat.
ADVERTISEMENT
Ia mengambil contoh seorang pasien gagal ginjal di daerah Makassar, Sulawesi Selatan. Pasien tersebut harus menghabiskan uang pribadi hingga Rp 144 juta per tahun atau ditotal Rp 300 juta dalam 2 tahun untuk cuci darah. Akibatnya, ia harus menjual asetnya.
Kusmi, pasien tumor payudara peserta BPJS Kesehatan Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Kemudian program BPJS Kesehatan datang dan si pasien mendaftarkan diri ke program kelas 3 yang hanya membayar iuran Rp 25.500 per bulan. Sekarang cuci darah ditanggung BPJS Kesehatan.
"2 tahun, hampir Rp 300 juta, jual rumah. Begitu program BPJS jalan, dia ikut aja ambil yang kelas 3 Rp 25.500. 5 tahun free, itu semangat gotong royong. Yang sehat ada jaminan, kita enggak ingin sakit. Tapi kita mesti punya proteksi financial. Kalau kita enggak pakai, kan kita sharing," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Fachmi menjelaskan program BPJS Kesehatan memiliki sisi manfaat selain kesehatan. Program jaminan kesehatan mampu mencegah potensi kemiskinan karena tak memiliki perlindungan finansial seperti asuransi kesehatan bila terkena penyakit kronis yang membutuhkan uang dalam jumlah besar.
Selain itu, program BPJS Kesehatan memiliki efek ekonomi, yakni industri penyuplai makanan, farmasi, dan rumah sakit tumbuh karena makin banyak pasien.
"Sektor makanan, kantin dan dapur rumah sakit hidup. peternak telur punya pasar. Di rumah sakit ada telur rebus," tambahnya.