Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pada 2018 lalu, Perum Bulog ditugaskan pemerintah untuk mengimpor beras hingga 1,8 juta ton. Beras yang diimpor akan digunakan sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
ADVERTISEMENT
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso , sempat menentang kebijakan itu. Pria yang akrab disapa Buwas itu berpendapat, impor beras terlalu banyak. Buwas pun dihadapkan dengan dilema besar.
“Bulog tak ideal menurut saya karena kita penugasan satu sisi, tapi justru di situlah Bulog terjerat dalam suatu permasalahan,” ujar Buwas di Ngopi BUMN, Jakarta, Jumat (1/11).
Mengaku dilema, Buwas pun punya alasannya. Impor beras yang ditugaskan ke Bulog dirasa sangat berat karena jumlah kuota yang diberikan terlalu banyak. Artinya, Bulog harus punya kemampuan keuangan yang cukup untuk membeli jutaan ton beras impor tersebut.
Selama ini untuk mencukupi kebutuhan modal, Bulog harus berutang dari perbankan. Hingga September 2019 ini, jumlah utang Bulog sudah mencapai Rp 28 triliun. Sebuah angka yang cukup besar.
ADVERTISEMENT
“Ini masalah besar, karena nilainya triliunan dan bunganya komersial. Sedangkan CBP ini tidak bisa kita jual belikan kecuali ada penugasan,” keluh dia.
Impor beras yang dianggapnya terlalu banyak menimbulkan masalah baru. Gudang Bulog sangat terbatas. Di satu sisi, Bulog harus tetap menyerap beras yang diproduksi petani. Jadilah gudang Bulog penuh sesak dengan beras.
“Nah kita bicara pangan maka ada waktu dan kualitas. Ini akan turun-turun, kalau lama tak dipakai ini akan rusak, padahal uangnya pinjam. Tidak disalurkan, kualitasnya turun, dengan kualitas turun harga turun, ini dilema,” ujarnya.
Soal penyerapan, Buwas juga mengungkap pihaknya masih terhambat dalam penguasaan pasar. Jumlahnya hanya sekitar 20 persen dari total beras yang dimiliki Bulog bisa diserap di pasar.
ADVERTISEMENT
“Karena image Bulog sudah negatif. Karena penugasan itu, beras yang sudah turun mutu dilempar juga ke pasar untuk rastra dan raskin, jelek pasti berasnya. Itulah image yang membuat Bulog negatif,” papar dia.
Maka dari itu, Buwas di Bulog mempunyai tanggungjawab untuk menjaga kualitas beras. Caranya, melalui sistem penyimpanan yang saat ini tengah pihaknya kembangkan berbasis teknologi, yang katanya setahun kualitas beras masih awet.
Selain itu, ia juga sedang membenahi regulasi-regulasi agar Bulog bisa lebih fleksibel masuk ke pasaran dan komersial. Misalnya beras renceng atau sachet, tepung dedak, dan lainnya.
“Harus kita yang bergerak. Maka saya membuat program. Dan saya membuat produk beras premium dari beberapa jenis beras berkualitas termasuk kemasannya, mereknya,” ujar dia.
ADVERTISEMENT