Carut Marut BUMN Farmasi di Tengah Cuannya Bisnis Obat Tanah Air

7 Juli 2024 19:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pedagang mengambil obat untuk konsumennya di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pedagang mengambil obat untuk konsumennya di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Holding BUMN Farmasi tengah menghadapi sederet permasalahan keuangan, terutama imbas indikasi fraud yang dialami PT Indofarma dan anak usaha PT Kimia Farma (KAEF).
ADVERTISEMENT
Kimia Farma sedang melakukan audit investigasi terkait pelanggaran laporan keuangan anak usahanya, PT Kimia Farma Apotek (KFA),yang diharapkan rampung Agustus 2024. Dalam waktu yang sama, perusahaan juga memutuskan akan menutup 5 pabriknya karena utilisasi yang rendah.
Sementara Indofarma juga menghadapi isu dugaan fraud yang dilakukan jajaran pimpinannya, salah satunya penarikan pinjaman online (pinjol) yang menyebabkan indikasi kerugian Rp 1,26 miliar.
Dengan sederet permasalahan tersebut, Holding BUMN Farmasi tercatat merugi sepanjang tahun 2023 yakni mencapai Rp 2,16 triliun.
Associate Director BUMN Research Group Lembaga Management FEB UI, Toto Pranoto, menilai bobroknya BUMN Farmasi terjadi di tengah prospektifnya bisnis obat dan alat kesehatan (alkes) di Indonesia.
Ilustrasi Indofarma. Foto: FazaShila Picture/Shutterstock
"Kalau lihat bisnis KALBE Group atau Tempo Inti Scan sebagai produsen obat, alkes, dan nutrisi bisa dapat profit di atas Rp 1 triliun, artinya bisnis farmasi ini masih sangat prospektif," ujarnya saat dihubungi kumparan, Minggu (7/7).
ADVERTISEMENT
Toto menegaskan, alasan BUMN Farmasi merugi semata-mata disebabkan kesalahan tata kelola dan juga terjadinya fraud yang menyebabkan perusahaan pelat meah di sektor farmasi ini carut-marut padahal sudah tergabung dalam satu holding.
"Jadi patut dipertanyakan bagaimana manajemen holding dalam melakukan pengelolaan kinerja sehingga relatif value creation holding tidak tercipta dengan baik," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif BUMN Institute, Achmad Yunus, menjelaskan beberapa faktor memburuknya kinerja BUMN farmasi, yaitu kesalahan tata kelola, integritas rendah, dan kinerja pengawasan buruk.
Achmad menuturkan, Kimia Farma bahkan berhasil menguasai ritel pasar domestik karena jumlah apoteknya dominan dibandingkan pesaing. Tercatat, perusahaan memiliki setidaknya 1.200 apotek.
Apotek Kimia Farma di Cibinong kehabisan stok parasetamol generik. Foto: Andin Danaryati/kumparan
"Namun kelemahan tata kelola dan pengawasan membuat tidak efisien, biaya besar dan kinerja finansial bermasalah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sama halnya di Indofarma, lanjut Achmad, disebabkan masalah integritas yang lemah, pengawasan yang asal-asalan, dan biaya tinggi akhirnya membuat perseroan tidak memiliki daya saing yang bagus.
"Bisnis obat sangat prospektif, cuma BUMN kita krisis integritas, tata kelola serampangan, dan kinerja pengawasan buruk," tegas Achmad.
Di sisi lain, dia juga menyoroti Indofarma dan Kimia Farma yang terbiasa dengan privilege atau hak istimewa dari negara berupa penugasan-penugasan tanpa mengkhawatirkan anggaran internal.
"Penugasan produksi obat-obat generik, tapi ketika obat generik bisa disediakan oleh pasar dengan harga yang lebih murah, akhirnya BUMN farmasi kehilangan daya saing," pungkas Achmad.

Tanggapan BUMN Farmasi soal Dugaan Fraud

Direktur Utama PT Biofarma (Persero) yang juga induk Holding BUMN Farmasi, Shadiq Akasya, menyinggung temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya fraud di anak usahanya, PT Indofarma Tbk (INAF). Hal itu dia singgung saat memaparkan bagaimana kinerja perseroan mengalami tren menurun sejak 2021 hingga 2023.
ADVERTISEMENT
"Perlu kami sampaikan mungkin Bapak Ibu sudah mendengar berita-berita terkait Indofarma, baik temuan BPK atau berita dari media massa. Kami jelaskan bahwa kinerja Indofarma mengalami tren yang menurun dari tahun 2021 hingga 2023 baik secara pendapatan maupun profitabilitas," kata Shadiq saat RDP dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (19/6).
Direktur Utama PT Biofarma (Persero) yang juga induk Holding BUMN Farmasi, Shadiq Akasya. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Pendapatan Indofarma tahun 2023 sebesar Rp 524 miliar, turun sebesar 54,2 persen secara tahunan. Pendapatan ini didominasi penjualan produk dalam negeri mencapai Rp 501 miliar dan produk etikal Rp 311 miliar, serta peningkatan pendapatan ekspor di tahun 2022 sebesar Rp 22 miliar.
Sementara nilai pendapatan sebelum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) pada tahun 2023 negatif Rp 239 miliar, membaik dari tahun 2022 yang minus Rp 361 miliar.
ADVERTISEMENT
"Ini disebabkan penurunan beban pemasaran dan distribusi seiring dengan penurunan penjualan dan pelaksanaan efisiensi biaya operasional kantor," kata Shadiq.
Sementara net income pada tahun 2023 tercatat negatif Rp 605 miliar, memburuk dibanding 2022 yang negatif Rp 428 miliar. "Karena adanya penyisihan piutang Rp 46 miliar, dan adanya biaya-biaya terkait pajak kurang lebih Rp 120 miliar," sambung dia.
Sementara dari kinerja keuangan, Indofarma pada 2023 memiliki aset senilai Rp 933 miliar, turun 39,2 persen dari 2022 sebesar Rp 1,53 triliun. Dan liabilitas pada 2023 tercatat Rp 1,54 triliun, naik 7 persen dari tahun 2022 sebesar Rp 1,44 triliun.
Sementara ekuitas Indofarma pada 2023 sebesar minus Rp 615 miliar, turun 812,6 persen dari Rp 86 miliar di tahun 2022.
ADVERTISEMENT
"Perlu kami tegaskan saat ini Indofarma masih dalam proses PKPU dan proses untuk legal aspek masih terus berjalan sekarang," tegas dia.