Cukai Rokok Naik 10 Persen di 2023 dan 2024, Daya Beli Konsumen Bakal Tergerus?

24 November 2022 12:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024. Kenaikan tarif juga berlaku untuk cukai elektrik sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AB. Widyanta, mengatakan kenaikan cukai rokok tak akan berdampak signifikan pada kebiasan konsumen dalam merokok. Sehingga menurutnya, konsumen akan mengalihkan belanja lainnya untuk membeli rokok atau produk serupa dengan harga yang lebih murah.
“Kita harus menjadi bangsa yang terbiasa membudayakan perencanaan jangka panjang. Jangan kita naikkan cukai rokok hanya karena krisis ekonomi tanpa ada catatan yang memadai. Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) sangat diperlukan, supaya terlihat jelas bagaimana arah ke depannya,” kata AB Widyanta dalam keterangannya, Kamis (24/11).
Ia menambahkan, jika cukai rokok membuat konsumen berhenti merokok, seharusnya pemerintah bisa membuka data orang yang berhenti merokok dari CHT atau dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT). "Apakah data penurunannya signifikan atau tidak? Karena ini berkaitan dengan efektif atau tidaknya kenaikan CHT," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, kenaikan cukai rokok hanya menguntungkan dari sisi penerimaan negara. “Yang mendapatkan keuntungan adalah pemerintah, namun apakah berkorelasi dengan orang berhenti merokok? Realitasnya tidak. Karena orang yang punya daya beli akan terus membeli, dan orang yang tidak memiliki daya beli akan berpikir taktis, dengan membuat atau melinting sendiri dan mencari alternatif lain,” jelasnya.
Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey  (GATS), dalam sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Padahal, dalam sepuluh tahun terakhir terjadi kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan.
Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Mira D. Amir menuturkan, salah satu cara mengatasi tekanan karena kenaikan cukai rokok adalah konsumen akan lari ke rokok ilegal. "Kenaikan jumlah perokok dan rokok ilegal merupakan indikasi, kenaikan tarif cukai rokok bukan solusi yang baik untuk menekan jumlah perokok,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan cukai tidak bisa membuat orang berhenti merokok.
“Ketika angka prevalensi masih tinggi di saat cukai terus dinaikkan, itu bukan berarti kebijakan cukai yang gagal tetapi karena ruang gerak kebijakannya yang terbatas. Kemudian, apakah dengan harga tinggi orang berhenti merokok? Tidak! Mereka malah beralih ke rokok yang lebih murah. Itu namanya dead weight loss atau excess burden,” jelas Nirwala.
Saat ditanya tentang perokok anak, Nirwala mengatakan bahwa hal itu merupakan wilayah non fiskal. Menurut Nirwala, ruang gerak DJBC sangat terbatas, karena pengendalian konsumsi rokok berada di wilayah non fiskal. Dalam pengendalian konsumsi rokok sendiri, ada yang dinamakan tindakan preventif dan rehabilitative.
ADVERTISEMENT
“Meningkatnya perokok anak dalam beberapa tahun terakhir, sementara mereka di rumah terus, berarti ada pengawasan orang tua yang dipertanyakan. Hal seperti ini tidak mungkin dijangkau dengan fiskal,” tegas Nirwala.