Curhat Peternak Ayam Rugi Rp 5,4 Triliun Sejak 2019

15 Maret 2021 19:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi ayam di peternakan rakyat di Tajur Halang, Bogor Foto: Elsa Toruan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi ayam di peternakan rakyat di Tajur Halang, Bogor Foto: Elsa Toruan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak beberapa tahun lalu, harga ayam hidup/live bird (LB) jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi. Total kerugian itu ditaksir hingga Rp 5,4 triliun selama tahun 2019-2020.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut disebabkan kegagalan Pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan. Berdasarkan data Kementan, saat ini terjadi over supply ketersediaan ayam hidup sebesar 63.280.823 ekor ayam atau kelebihan 26,18 persen dari kebutuhan daging ayam nasional. Angka tersebut berdasarkan data Kementan, 8 Maret 2021.
Seorang peternak ayam rakyat asal Bogor Alvino Antonio, melalui kuasa hukumnya mengirimkan nota keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan.
Sehingga gagal memenuhi kewajibannya secara hukum untuk melindungi peternak rakyat atau mandiri, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak.
"Persoalan utamanya adalah Pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur. Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini," kata Kuasa Hukum Hermawanto melalui keterangan tertulis seperti yang dikutip kumparan, Senin (15/3).
ADVERTISEMENT
Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp 19.000 per kilogram (kg). Fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam/Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor per minggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20 persen dari produksi nasional. Diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp 2.000 per kg.
"Jatuhnya harga unggas live bird akibat over supply, ditambah pula tingginya harga sapronak (sarana produksi peternakan) sangat merusak usaha klien kami dan mengakibatkan timbulnya kerugian secara terus menerus dan berkepanjangan. Bahkan tercatat kerugian yang dialami peternak mandiri yang hanya memiliki 20 persen kontribusi produksi perunggasan nasional sekitar Rp 5,4 triliun rupiah sepanjang tahun 2019 dan 2020," jelas Hermawanto.
Pedagang menyiapkan ayam potong untuk pembeli di salah satu peternakan ayam di Jakarta. Foto: Rivan Awal Lingga/Antara Foto
Diakui Hermawanto, baru-baru ini Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan berupaya menjaga supply and demand DOC FS ayam ras pedaging dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH No.08068/PK.230/F/03/2021 tentang Pengaturan dan Pengendalian Produksi anak ayam (DOC) FS, pada 8 Maret 2021 lalu. SE yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32/Permentan/PK.230/09/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, faktanya Kementan belum melakukan stabilisasi perunggasan secara maksimal berkaitan dengan suplai LB, pakan, dan DOC dengan didukung data yang valid dengan pengawasan dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengabaikan kebijakan pemerintah sesuai kewenangannya. Kementan harus mengganti seluruh kerugian yang selama ini dialami peternak ayam rakyat sepanjang dua tahun terakhir.
"Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, Pemerintah berkewajiban untuk menghentikan kerugian yang terus terjadi pada Peternak mandiri Cq. Sdr. Alvino Antonio dengan melakukan tindakan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengganti kerugian peternak rakyat sejumlah Rp5,4 triliun," imbuh Hermawanto.
Alvino menambahkan, ia merintis usahanya di bidang peternakan atau budidaya ayam broiler yang sejak tahun 2013 dengan menjalankan prinsip kerja sama usaha dengan perusahaan kemitraan. Pada tahun 2016 sampai dengan pertengahan tahun 2018, usahanya berkembang cukup baik dan meraih hasil usaha yang memuaskan. Namun, di akhir tahun 2018 usahanya mengalami gejolak yang sangat serius karena ketidakstabilan harga jual LB dan harga pakan ternak yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
"Jadi tidak akan sebanding dengan harga jualnya. Saya terus menerus merugi dan utang terus menumpuk. Kalau ekosistemnya seperti ini, berapa pun modal usaha kami (peternak ayam rakyat) pasti rugi," pungkas Alvino.