Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Curhat Peternak yang Rugi Ratusan Juta saat Harga Daging Ayam Jeblok
5 Oktober 2018 13:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Anton tentu tidak pernah membayangkan dia sampai merugi hingga Rp 100 juta saat memulai peternakan ayam di kawasan Kuburan Cina, Tajur Halang, Bogor. Setelah berupaya menjaga produksi ayam tetap tinggi dan berkualitas baik, Anton terpaksa menjual daging ayam yang sudah dia rawat sepenuh hati itu seharga Rp 14.000 per kg . Jauh di bawah biaya produksi.
ADVERTISEMENT
“Kandang saya jebol (rugi). Saya bingung saat itu, kenapa harganya bisa turun sampai Rp 14.000 per kg. Padahal, saya harus keluarkan biaya produksi hingga Rp 19.000 per ekor. Belum lagi, saya harus menghadapi kematian sekitar 50 hingga 100 ayam per minggu akibat cuaca yang sedang tidak bagus,” kisahnya kepada kumparan, Jumat (5/10).
Setiap bulan, Anton biasanya mampu memproduksi sekitar 40.000 ekor ayam. Namun, karena harga daging ayam belum stabil, dia pun memilih untuk mengurangi jumlah produksi setengahnya saja. Yakni menjadi hanya sekitar 20.000 ekor ayam. Hal ini, lanjutnya, merupakan salah satu cara untuk mengatasi rendahnya harga ayam dan tingginya harga-harga komponen pendukung produksi .
“Turunnya harga ayam ini enggak sejalan dengan harga komponen produksi yang cenderung meningkat. Seperti misalnya harga pakan yang mencapai Rp 7.500 per kg, satu ekor ayam itu biasanya butuh sekitar 2,2 kg sampai 2,5 kg pakan. Harga Day Old Chick (DOC) mencapai Rp 6.500 satu ekor lalu ada obat-obatnya agar mereka tidak rentan sakit, belum lagi biaya operasional lainnya seperti listrik dan air,” katanya lagi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Anton harus membeli setangki air bersih setiap minggu sepanjang bulan September kemarin dengan harga Rp 400.000 karena musim kekeringan sedang melanda. Air itu diperlukan untuk merawat ayam-ayam ternakannya. Dia mengaku, hujan hampir tidak pernah turun di wilayahnya sepanjang September kemarin.
Selain Anton, masih ada beberapa kisah peternak ayam lain di kawasan Tajur Halang, Bogor, yang juga mengatakan hal serupa. Mereka merugi saat harga jual daging ayam turun. Kerugian ini pun nyatanya tidak hanya dialami satu kali dalam satu tahun. Tapi berulang kali.
Susilo, peternak ayam lainnya di kawasan Tajur Halang mengatakan kalau dalam satu tahun, dia bisa menghadapi sekitar 2 sampai 3 bulan dimana harga daging ayam anjlok.
“Biasanya dalam satu tahun itu ada sekitar 2 sampai 3 bulan yang pasti harga daging ayam anjlok. Bulan September kemarin salah satunya. Kami harus kurangi produksi juga. Sebelumnya, kami bisa produksi sampai 90.000 ekor per bulan, tapi karena harga murah jadi dikurangi hingga 30.000 ekor ayam per bulan," timpal Susilo.
ADVERTISEMENT
Susilo mengatakan, pihaknya harus mengeluarkan biaya produksi hingga Rp 18.500 per ekor ayam. Harga murah yang terjadi di bulan September lalu membuat dia juga merugi hingga Rp 250 juta.
“Siasatnya mau enggak mau harus kurangi produksi, karena dengan begitu, semuanya akan berkurang, seperti pakan yang dibeli kan akan berkurang. Biasanya kami pelihara di 10 kandang ayam, jadi hanya 5 kandang,” jelas Susilo lagi.
Tiang-tiang penyangga usaha peternakan ayam rakyat kini mulai rapuh. Mereka cenderung tidak terlindungi. Lemahnya intervensi pemerintah dan evaluasi menyebabkan peternak ayam rakyat jadi korban. Sebab, tentu kisah Anton dan Susilo tadi juga dialami sejumlah peternak di wilayah lainnya.
"Kami memang begitu, mengikuti harga sesuai dengan permintaan dan produksi. Saat produksi banyak tetapi permintaan sedikit, harus jual murah. Tidak ada harga tetap, kalau istilahnya itu harga farm gate yang tegas supaya apapun kondisinya, harga ayam kami tetap dijual layak," tutup Susilo.
ADVERTISEMENT