Dear Jokowi, Harga Tiket Pesawat Naik Bukan Karena Avtur

12 Februari 2019 17:33 WIB
Presiden Jokowi Foto: Cornelius Bintang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi Foto: Cornelius Bintang/kumparan
ADVERTISEMENT
Sesaat sebelum berpidato dalam perayaan Hari Ulang Tahun Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ke-50 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat informasi dari Chairul Tanjung (CT).
ADVERTISEMENT
Salah satu konglomerat terkaya di Indonesia itu mengatakan pada Jokowi, penjualan avtur di dalam negeri dimonopoli Pertamina dan membuat harganya jadi tak efisien. Hal ini dituding sebagai penyebab mahalnya harga tiket pesawat yang menjadi polemik pada awal tahun ini.
"Berkaitan dengan harga tiket pesawat, saya terus terang kaget dan malam hari ini saya baru tahu. Mengenai Pak CT (Chairul Tanjung) mengenai avtur, yang ternyata avtur yang dijual di Soetta (Bandara Soekarno-Hatta) itu dimonopoli oleh Pertamina sendiri," kata Jokowi sambil tertawa.
Sehingga, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan akan memanggil pihak Pertamina untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dia pun mengancam akan memasukkan saingan untuk Pertamina bila harga avtur tak turun.
Jokowi menyebut permasalahan itu sangat mengganggu dan berdampak negatif pada industri pariwisata Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Besok pagi saya akan undang Dirut Pertamina, pilihannya hanya satu harganya bisa sama dengan harga internasional atau kalau tidak bisa saya, akan masukkan kompetitor lain sehingga terjadi kompetisi," ujarnya.
Benarkah avtur yang menyebabkan harga tiket pesawat melonjak pada akhir 2018 sampai awal 2019 ini?
Dikutip kumparan dari Index Mundi, harga avtur saat ini sedang dalam tren penurunan sejak Oktober 2018. Rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level USD 2,25 per Gallon turun 13,52 persen menjadi USD 1,95 per Gallon pada November 2018.
Harga avtur kembali turun menjadi USD 1,71 per Gallon pada Desember 2018 alias melemah 11,98 persen. Harga avtur baru sedikit menguat pada Januari 2019, yakni menjadi USD 1,79 per Gallon atau meningkat 4,73 persen.
ADVERTISEMENT
Harga avtur yang dijual Pertamina berpatokan pada Mean of Platts Singapore (MOPS), polanya mengikuti pergerakan harga di pasar global. Pada periode yang sama ketika harga avtur menurun, harga tiket pesawat justru melonjak.
Dalam keterangan tertulis yang dikirim pada 1 Februari 2018 lalu, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengakui bahwa kenaikan harga tiket tak berkaitan dengan avtur.
"Kami memastikan bahwa harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. Beban biaya operasional penerbangan lainnya seperti leasing pesawat, maintenance dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah meningkatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat," kata Ketua Umum INACA yang juga Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, IGN Askhara Danadiputra.
ADVERTISEMENT
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga pernah memberi penjelasan terkait harga tiket pesawat yang dikeluhkan masyarakat. Kata Budi Karya, tiket pesawat sebelumnya bisa murah karena maskapai-maskapai perang tarif. Tak ada kaitan dengan avtur.
Perang tarif itu berakhir ketika nyaris semua maskapai penerbangan mengalami kerugian. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), misalnya. Hingga akhir kuartal III 2017, maskapai pelat merah itu mencatatkan kerugian USD 110,2 juta.
Selain Garuda Indonesia, low cost airline yang beroperasi di dalam negeri, PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) juga mengalami kinerja buruk serupa. Di kuartal III 2018, AirAsia menderita kerugian Rp 639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy).
Maskapai pun ramai-ramai menaikkan tarif hingga mendekati tarif batas atas. Menurut Budi Karya, tarif pesawat tengah kembali ke level normal setelah dalam beberapa tahun terakhir terjadi perang harga antar maskapai.
ADVERTISEMENT
“Memang selama ini mereka perang tarif. Begitu harganya normal seolah-olah tinggi. Namun demikian, saya memang ajak mereka untuk secara bijaksana melakukan kenaikan itu secara bertahap," ungkap Budi Karya, 12 Januari 2019 lalu.
Harga avtur sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah, Pertamina tak bisa sesukanya mengambil untung sebesar-besarnya. Batasannya terdapat dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur yang Disalurkan melalui Depot Pengisian Pesawat Udara yang dibuat Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Dalam aturan ini, harga avtur yang dijual Pertamina di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) harus berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin dengan batas atas sebagai berikut: Mean Of Platts Singapore (MOPS) + Rp 3.581/liter + Margin (10 persen dari harga dasar). Singkatnya, keuntungan Pertamina dari penjualan avtur tak boleh lebih dari 10 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, avtur menyumbang sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat Masih ada 80 persen komponen biaya lainnya.
Hampir serupa, menurut data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub yang diperoleh kumparan, biaya avtur saat ini merupakan 24 persen dari seluruh komponen biaya maskapai. Ada berbagai komponen biaya lain seperti pemeliharaan, sewa pesawat, asuransi, catering, dan sebagainya.
"Kalau avtur yang dijadikan fokus utama, saya kira kurang proporsional," ujarnya kepada kumparan.
Komaidi menambahkan, harga avtur Pertamina sudah cukup kompetitif, bahkan dibandingkan Singapura. "Kalau ada yang bilang mahal, bandingannya apa?" tanyanya.
Ia juga menerangkan, tidak ada regulasi yang melarang swasta untuk masuk ke bisnis avtur. Hanya saja, belum ada swasta yang berani masuk dan bersaing dengan Pertamina.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada larangan. Jadi monopoli ini bukan kemauan Pertamina. Siapa pun boleh masuk," tegasnya.
Swasta juga bukannya tak pernah mencoba untuk masuk ke bisnis avtur. Pada 2007, Shell Aviation pernah mencoba berjualan avtur di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Tapi pada 2009, Shell Aviation tak lagi berbisnis avtur di Soetta.
Menurut Komaidi, memang tak mudah bagi swasta untuk bersaing dengan Pertamina di bisnis avtur. Pertamina sudah memiliki infrastruktur yang lengkap dan menguasai jalur-jalur distribusi avtur.
"Untuk bisnis avtur butuh modal besar dan harus membangun infrastruktur. Di Jawa dan Sumatera sudah dikuasai Pertamina. Yang masih ada peluang di bandara-bandara Indonesia Timur, tapi pesawat yang ke sana enggak banyak, jadi kurang menguntungkan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyarankan agar Pertamina tak perlu takut jika Jokowi memasukkan kompetitor baru. Toh Pertamina sudah mengambil margin keuntungan wajar sesuai aturan Kementerian ESDM, bukan setinggi langit, tak perlu turunkan harga.
Hanya saja ia menggarisbawahi, pemerintah harus menciptakan kesetaraan atau level of playing field yang adil bagi Pertamina dan swasta di bisnis avtur. Ketika Pertamina diwajibkan menyalurkan avtur sampai ke bandara di daerah-daerah pelosok yang tidak menguntungkan, swasta juga harus dibebani kewajiban serupa.
"Pertamina sudah mengambil margin secara normal. Sekarang diminta turun, masukkan saja kompetitor. Tapi swasta juga harus handle A-Z seperti Pertamina. Jangan cuma jualan di bandara yang basah saja," tutup Komaidi.