Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Seiring perkembangan zaman, investasi di pasar modal kini makin lekat di kalangan para milenial. Pasalnya, akses informasi terkait instrumen hingga jaringan komunitas pasar modal pun mudah dilakukan. Di era digital, hanya dengan klik semua bisa terkoneksi.
Tak elak, milenial di pasar modal pun kian mendominasi. Dari sekitar 970.000 Single Investor Identification (SID) yang aktif di pasar modal, 40 persennya berusia di bawah 30 tahun. Adapun total investor pasar modal di pengujung 2018 lalu itu, mencapai 1,6 juta investor atau sekitar 635 ribu investornya adalah milenial.
Ratih Prastika (26) misalnya. Seorang eks pekerja media di kawasan Jakarta, setahun ke belakang ini giat melakukan investasi di pasar modal. Hal Itu berawal dari rasa penasarannya di media sosial serta aktivitas pekerjaan yang menjadikan ia terjun sebagai investor saham.
“Awalnya karena tereduksi oleh para pelaku di platform media sosial. Kemudian mulai melek juga terkait pengelolaan keuangan, akhirnya memutuskan untuk mencoba,” ujar Ratih kepada kumparan.
Dari gaji bulanannya, ia rutin mengalokasikan sekitar 20 persen untuk alokasi investasi saham. “5-7 persen ke instrumen lainnya,” imbuh dia.
Perjalanan Ratih tak begitu saja mulus menjalankan investasi saham. Ia mengaku pernah jatuh ketika sahamnya anjlok sampai 15 persen akibat salah strategi.
“Pernah paling kalau pas lagi order full terus reject atau pas jual tahunya lagi enggak liquid. Tapi sebetulnya itu masalah-masalah teknis ya, pernah sampai anjlok 10-15 persen tapi akhirnya cut loss karena emang dari awal salah ambil emiten,” kata dia.
Hal serupa juga pernah dialami oleh Shinta Theresia Manullang (27). Perempuan yang berprofesi sebagai Project Cost & Schedule Specialist di salah satu perusahaan konstruksi di Jakarta itu mengungkapkan, pernah kehilangan nilai sahamnya sampai 78 persen.
“Aku pernah hilang 78 persen dan sampai sekarang belum cair,” kata Shinta.
Skala itu, Shinta memang baru awal-awal mengenal investasi saham pada tahun 2016. Pengalaman anjloknya saham itu, menurut Shinta, dijadikan sebagai pembelajaran karena dirinya teledor dalam memperhatikan pergerakan saham.
“Jadi aku biarin aja, kayak investasi reksa dana, kasarnya aku tinggal tidur, awalnya masih 48 persen, teman-teman bilang bakal balik naik, tapi dalam pikiranku enggak mungkin sebenarnya, benar aja tuh, makin anjlok sampai perusahaannya tutup,” bebernya.
Sedari SMA, ia tergolong orang yang memiliki ketertarikan di bidang investasi. Mulai dari menabung, reksa dana, surat utang negara, hingga memutuskan untuk fokus di saham. Setiap bulan, setidaknya ia menyisihkan 10 persen dari gaji untuk investasi itu.
“Aku minatnya untuk SBR (Saving Bond Ritel) sama saham. Jadi emang Aku split di dua itu. Dari situ, aku juga mulai ikut kelasnya. Mendalami saham beneran, terus masuk ke investor muda,” ungkapnya.
Shinta bercerita, momen anjloknya saham yang pernah ia beli menjadikannya makin tekun belajar saham. Baik mempelajari dari laporan keuangan perusahaan, informasi dan berita hingga sering bergabung dalam pertemuan komunitas.
Seiring waktu, dirinya makin piawai untuk berinvestasi. Mulai dari memilih emiten yang potensial hingga manajemen risiko. Perempuan yang berdomisili di Jakarta Selatan itu, saat ini lebih tertarik ke produk food and beverage dan perbankan yang dinilainya mudah untuk mencari pundi-pundi keuntungan alias cuan.
"Paling diminati untuk investasi jangka panjang,” imbuhnya.
Tak hanya mendapat imbal balik yang menjanjikan, investasi telah menjadi gaya hidup baik Ratih maupun Shinta. Mereka juga mengaku, berkat investasi jadi terbiasa untuk hidup hemat dan minimalis.
“Lebih aware soal pengelolaan keuangan. Karena meski duit-duit kita sendiri tapi kalau kita tidak cukup punya literasi dampaknya bisa merembet juga untuk orang-orang sekitar kita,” ucap Ratih.
VP of Retail and Business Development Sucor Sekuritas, Bernadus Wijaya, tak menafikan hal itu. Ia menjelaskan, banyak keuntungan yang bakal didapat milenial ketika berinvestasi sejak muda. Hal penting yang mesti dibangun, kata dia, adalah penanaman mindset.
“Jika kita sudah mau berinvestasi, berarti kita sudah siap untuk melakukan penundaan kesenangan atau delayed the gratification. Sehingga mental kita terbentuk untuk bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” tegasnya.
Selain itu, ia menegaskan, milenial yang berinvestasi sejak muda juga akan lebih terjamin di hari tuanya.
“Jika kita berinvestasi lebih awal, kita akan merasakan the power of compounded interest lebih awal juga, tentunya hasil yang dihasilkan pada masa tua kita nanti pasti lebih tinggi,” ujarnya.