Di Balik Melesatnya Laba BTN hingga 6 Kali Lipat, Jadi Rp 1,6 Triliun

2 Februari 2021 21:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bank BTN. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bank BTN. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN untuk tahun 2020 menunjukkan kinerja keuangan yang impresif. Ketika laba bersih bank-bank milik negara atau Himbara lainnya tergerus, laba bersih BTN mencapai Rp 1,6 triliun. Angka itu melesat lebih dari 6 kali lipat atau tepatnya 671,6 persen, dibandingkan 2019 yang hanya sebesar Rp 209 miliar.
ADVERTISEMENT
"Laba bersih kami tumbuh sangat tinggi 671 persen didorong karena 2019 kita lakukan banyak down grade, bersih-bersih. Laba kami Rp1,6 triliun,” kata Plt. Direktur Utama BTN, Nixon Napitupulu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (2/2).
Hal yang diungkapkan Nixon itu, merupakan langkah kebijakan manajemen BTN di bawah Pahala N. Mansury, yang diangkat jadi Dirut BTN pada 22 November 2019. Mengawali kepemimpinannya di BTN pada akhir 2019 itu, Pahala melakukan 'bersih-bersih' kredit yang dianggap berpotensi bermasalah.
Konsekuensinya, angka pencadangan atau CKPN (Cadangan Kredit Penurunan Nilai) diperbesar hingga meng-cover lebih dari 100 persen kredit. Dampak dari besarnya pencadangan itu, menggerus laba bersih BTN 2019 jadi hanya Rp 209 miliar, anjlok 92,5 persen dibanding tahun sebelumnya yaitu Rp 2,8 triliun.
Seorang Petugas Teller PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. sedang menghitung uang kertas di Kantor Cabang Harmoni, Jakarta, Senin (18/5). Foto: Dok. BTN
"Penurunan laba karena perseroan menerapkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 71. Dalam PSAK 71 tersebut, bank harus memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai dengan coverage harus di atas 100 persen di awal 2020," kata Pahala pada 12 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan PSAK 55 yang sebelumnya diberlakukan, salah satu poin penting PSAK 71 adalah soal pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan yang berupa piutang, pinjaman, atau kredit. Pada PSAK 55, kewajiban pencadangan baru muncul setelah terjadi peristiwa yang mengakibatkan risiko gagal bayar (macet).
Sedangkan PSAK 71 memandatkan korporasi menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit. Dasar pencadangan pun sifatnya adalah proyeksi kerugian kredit (expected credit loss) berdasarkan berbagai faktor, termasuk ketika proyeksi ekonomi di masa mendatang dianggap lebih berisiko.
Pahala N. Mansury saat masih menjabat Dirut BTN, menjelaskan kinerja keuangan Perseroan untuk tahun 2019. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Menurut catatan kumparan, pencadangan yang dilakukan BTN melonjak hampir dua kali lipat, yakni dari Rp 3,3 triliun di tahun 2018 menjadi Rp 6,1 triliun di tahun 2019. Kalau saja pencadangannya tidak sebesar itu, laba bersih BTN 2019 bisa di atas Rp 3 triliun.
ADVERTISEMENT
Sehingga laba bersih 2020 sebesar Rp 1,6 triliun sebenarnya turun dari 2019. Demikian juga jika perolehan laba bersih tersebut, dibandingkan dengan target yang dipatok Pahala N. Mansury saat itu, yakni sebesar Rp 3 triliun.
"Kita optimistis bisnis Perseroan pada tahun 2020 on the track dengan capaian laba hingga Rp 3 triliun. Landasan kerja BTN pada tahun 2020 adalah menetapkan arah kebijakan perseroan yaitu fokus pada perbaikan kualitas bisnis,” kata Pahala saat itu.