Digitalisasi OSS Berbasis Risiko Masih Bermasalah Antara Pusat dan Daerah

23 November 2021 13:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi (ketiga kiri ) tinjau layanan OSS di Kantor BKPM. Foto:  Yudhistira Amran Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi (ketiga kiri ) tinjau layanan OSS di Kantor BKPM. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Implementasi Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS RBA) atau Sistem OSS Berbasis Risiko masih tersandung beberapa permasalahan. Salah satunya dari sisi digitalisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum terintegrasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menjelaskan berdasarkan kajian yang dilakukan KPPOD di lima wilayah, yaitu Medan, Balikpapan, Surabaya, Makassar, dan DKI Jakarta, setidaknya ada tiga permasalahan dari sisi digitalisasi ini.
Padahal, kata Armand, PP Nomor 5 Tahun 2021 dan UU Cipta Kerja mengamanatkan OSS RBA ini menjadi satu-satunya sistem untuk pelayanan perizinan. Dengan kata lain, jika ada sistem yang lain itu akan diintegrasikan.
"Namun sampai saat ini, OSS RBA ini masih belum terintegrasi dengan beberapa sistem K/L yang menurut kami sangat penting dalam persyaratan dasar perizinan," ujar Armand dalam diskusi Sengkarut Implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah, Selasa (23/11).
Armand mencontohkan beberapa sistem yang bermasalah, pertama SIMBG merupakan sistem terkait dengan persetujuan bangunan yang dulu disebut IMB, lalu Gistaru terkait dengan tata ruang, atau Amdalnet untuk mendapat persetujuan kelayakan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
"Ini masih berproses secara terpisah-pisah, bagi Pemerintah Daerah menciptakan kebingungan sendiri. Karena ada pengalaman pelaku usaha ngurusin SIMBG tanpa berkoordinasi dengan DPMPTSP," lanjutnya.
Begitu juga dari sisi pemerintah daerah, menurut Armand, pemerintah daerah membutuhkan percepatan atau akselerasi untuk integrasi antar sistem-sistem K/L ini dengan OSS RBA.
Masalah kedua dan poin paling penting adalah soal rencana detail tata ruang (RDTR). Armand mengatakan, dalam UU Ciptaker dan PP No 05 Tahun 2021 dan diperkuat dengan PP 21 Tahun 2021 tentang tata ruang, RDTR menjadi salah satu panglima utama dalam perizinan usaha.
Armand berkata, dulu sebelum UU Cipta Kerja, RDTR harus disahkan melalui peraturan daerah, namun dengan UU Cipta Kerja, peraturan ini ditetapkan dalam peraturan kepala daerah dengan harapan proses penyusunan bisa dipercepat.
ADVERTISEMENT
"Namun catatan KPPOD adalah, pertama proses penyusunan RDTR ini juga sangat tergantung dengan seperti apa mekanisme persetujuan substansi dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN. Pemerintah daerah saat ini menilai, ini juga menjadi masalah karena lamanya mendapatkan persetujuan substansi," tutur Armand.
Dia melanjutkan, di Pemerintah Daerah saat ini baru sekitar 50-an RDTR yang terbentuk di beberapa wilayah, dari target Kementerian ATR/BPN sebesar 2000 RDTR. Hal itu pun belum termasuk RDTR digital.
Suasanan pelayanan OSS di Kantor BKPM. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
"Kalau daerah belum memiliki RDTR dan RDTR digital yang ditanam di OSS RBA, permohonan untuk mendapatkan persetujuan pemanfaatan ruang atau izin lokasi diajukan kepada pemerintah pusat. Bagi kami, itu bisa mengganggu keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam hal ini bisnis proses perizinan berusaha," ungkap Armand.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, pemerintah pusat akan memberikan persetujuan berdasarkan RT/RW, bukan RDTR sehingga bisa saja lokasi yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial di daerah. Sehingga menurut Armand, ini menjadi isu krusial dalam hal percepatan penerapan OSS RBA di daerah, serta yang paling penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial di daerah.
Selanjutnya adalah masalah peran platform layanan daerah yang sudah berjalan untuk memberikan izin berusaha, seperti JakEVO milik DKI Jakarta dan SSW di Surabaya. Permasalahannya, bagaimana nasib sistem ini dalam alur perizinan OSS-RBA serta perannya belum ditegaskan dalam PP No 5 Tahun 2021.
"Daerah juga mengalami kegamangan soal bagaimana platform layanan mereka yang selama ini menurut mereka sangat memberikan kemudahan. Sangat banyak daerah yang memiliki sistem yang menurut kami sangat luar biasa. Pertanyaannya adalah sistem ini berhadapan dengan OSS-RBA, sampai saat ini Pemda masih menggunakannya untuk beberapa izin tertentu. Itu yang menjadi kebutuhan dan ekspektasi daerah saat ini," imbuh Armand.
ADVERTISEMENT