Dirut PT Sritex Ngeluh Pabrik Tekstil RI Digempur Produk Impor

25 Juni 2024 19:49 WIB
·
waktu baca 2 menit
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto dalam paparan publik virtual, Selasa (25/6/2024). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto dalam paparan publik virtual, Selasa (25/6/2024). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, mengeluh menghadapi beban berat akibat tekanan pasar domestik sejak pandemi COVID-19. Selain itu, pasar ekspor juga menghadapi tekanan konflik geopolitik.
ADVERTISEMENT
Iwan merasa kondisi itu diperberat dengan adanya Permendag Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag 36 Tahun 2023.
“Dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai masuknya barang barang-impor itu, juga bisa melihat dari sisi kami produsen di dalam negeri ini yang mengalami kesulitan bersaing dengan produk-produk impor yang merajalela di pasaran,” ujar Iwan dalam paparan publik virtual, Selasa (25/6).
Iwan menilai langkah efisiensi diambil manajemen Sritex agar perusahaan memantau kondisi bisnis utama secara berkala. Dengan begitu, SRIL bisa menentukan produk mana yang bisa bersaing dan berkontribusi lebih banyak dalam profit margin.
Sritex telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak hampir 3.000 karyawan atau 35 persen dari total karyawan. Perusahaan masih mempekerjakan sekitar 11.000 karyawan.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya kita bentuk 3 bisnis unit ini, mempermudah kita merespons kondisi ekonomi sekarang yang memang gonjang ganjing dari sisi internal dan eksternal kita,” tutur Iwan.
Welly Salam Direktur Keungan Sritex. Foto: Dok. Istimewa
Senada, Direktur Keuangan Sri Rejeki Isman, Welly Salam, menilai kebijakan pemerintah harus ditinjau kembali untuk keberlangsungan industri tekstil Tanah Air.
“Ini kita juga harus berkaca di negara kita. Kita harus fokus juga kepada industri karena kalau kebijakan kebijakan tidak mendukung, ini akan sulit untuk mempertahankan industri,” terang Welly.
Apabila industri tekstil dalam negeri sudah berkurang menjadi lebih sedikit, atau menjadi tidak ada sama sekali, maka Indonesia bisa sangat tergantung dengan produk-produk tekstil impor.
“Efisiensi merupakan program yang berkelanjutan, di mana untuk PHK sendiri diharapkan hanya sampai tahun 2024. Tetapi tentunya akan di-review kembali pada akhir tahun untuk menyesuaikan program atau strategi dengan perkembangan yang ada,” tutur Welly.
ADVERTISEMENT