DJBC: Penerimaan Cukai Tembakau Lainnya Turun 28 Persen di Semester I 2021

10 Agustus 2021 11:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Bea Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan, Askolani, melaporkan penerimaan negara dari sektor hasil produk tembakau lainnya (HPTL), seperti rokok elektrik dan vape, mengalami penurunan. Hingga Juni 2021, realisasinya hanya Rp 298 miliar, turun 28 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 415 miliar.
ADVERTISEMENT
“Sampai semester I, realisasi cukai HPTL turun 28 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara sampai akhir 2021 diupayakan target penerimaan senilai Rp 680 miliar,” ujar Askolani kepada kumparan, Selasa (10/8).
Dia melanjutkan, Bea Cukai menargetkan penerimaan HPTL di tahun ini sedikit menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 690 miliar. Jika penurunan tersebut benar terjadi di akhir tahun nanti, maka bisa jadi ini merupakan pertama kalinya cukai HPTL tidak mencatat pertumbuhan sejak pertama kali dilegalkan pada Oktober 2018.
Meski demikian, Askolani menuturkan bahwa pemerintah telah memberikan insentif cukai, yakni penundaan pembayaran pita cukai hingga 90 hari. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 93 Tahun 2021.
“Melalui PMK 93/2021 para pelaku usaha HPTL dapat memanfaatkan relaksasi pembayaran cukai bulanan sampai Oktober 2021,” kata Askolani.
ADVERTISEMENT
Kebijakan relaksasi pembayaran cukai ini juga diharapkan dapat menjadi penopang pertumbuhan cukai hasil tembakau atau cukai rokok, yang ditargetkan mencapai Rp 173 triliun tahun ini, tumbuh tipis 1,7 persen (yoy) dibandingkan realisasi tahun lalu senilai Rp 170 triliun.
Penjual di sebuah toko vape di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ketua Asosiasi Pengusaha Penghantar Nikotin Indonesia (Appnindo) Roy Lefrans menyampaikan, pengusaha telah mulai memanfaatkan kebijakan relaksasi pembayaran cukai tersebut. Menurutnya, kebijakan ini turut membantu menjaga arus kas perusahaan di kala pandemi kini. Terlebih, sebagian besar pelaku usaha HPTL umumnya adalah UMKM.
Meski demikian, ia mengaku kebijakan tersebut tidak serta merta dapat mendorong pemesanan cukai dari pelaku HPTL. Sebab, penjualan produk-produk HPTL memang tengah lesu.
Sampai semester I 2021 penjualan HPTL menurun sampai 50 persen, sementara sampai akhir tahun penurunan penjualan diperkirakan mencapai 30 persen.
ADVERTISEMENT
“Karena kondisi penjualannya memang sedang lesu, toko-toko banyak yang tutup permanen, sehingga produsen mengurangi produksi dan memesan pita cukai dengan jumlah terbatas,” kata Roy.
Dia mengatakan, kebijakan lain yang saat ini juga dibutuhkan untuk mendukung industri HPTL adalah kebijakan cukai yang tidak memberatkan industri maupun konsumen. Hal itu ini juga bertujuan untuk menjaga daya beli dan mendorong penjualan.
“Diharapkan pemerintah mempertimbangkan keseimbangan antara kontribusi industri HPTL terhadap negara, dan menjaga keberlangsungan industrinya sendiri, mengingat industri HPTL masih sangat baru dan memiliki potensi besar," jelasnya.
Sektor IHT Padat Karya Harus Dilindungi
Sejumlah anggota Komisi VI DPR RI meminta pemerintah mempertimbangkan baik-baik kebijakan cukai rokok tahun 2022 sekaligus memberikan insentif dan perlindungan kepada industri hasil tembakau (IHT) yang merupakan sektor padat karya dan tersebar di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Perlindungan segmen padat karya diperlukan untuk mencegah jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kemiskinan akibat tekanan pandemi COVID-19 yang belum mereda. Anggota Komisi VI, Herman Khaeron, menyatakan bahwa IHT yang mempekerjakan masyarakat kecil terutama ibu-ibu di daerah masih tertekan akibat pandemi COVID-19.
“Sektor padat karya harus lebih diperhatikan di saat situasi perekonomian yang terus tertekan, termasuk pekerja SKT,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 mencapai 7,07 persen (year on year). Hal ini berarti Indonesia berhasil keluar dari resesi.
Meski begitu, tekanan terhadap ekonomi diperkirakan masih berlanjut seiring pendemi yang belum berakhir. Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan mengumumkan Nota Keuangan 2022 yang di dalamnya terdapat target penerimaan negara, termasuk dari cukai hasil tembakau.
ADVERTISEMENT
Herman berharap, keberlangsungan IHT dapat diperhatikan agar tetap bertahan sehingga mampu mendukung pemulihan ekonomi lokal maupun nasional. Dia pun berharap agar seluruh pihak dapat saling mendukung dan bertahan bersama untuk bangkit dan pulih dari keterpurukan akibat pandemi.
“Salah satu bentuk perhatian pemerintah adalah dengan menunda kenaikan cukai tahun 2022 sampai kondisi pandemi terkendali dan ekonomi pulih,” katanya.
Anggota Komisi VI lainnya, Marwan Jafar, menambahkan pemulihan sektor sigaret kretek tangan (SKT) sebagai bagian dari dunia usaha juga perlu didukung untuk terus bangkit dan pulih.
“Jangan sampai tenaga kerja yang menggantungkan hidup di SKT makin tertekan, apalagi sampai kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Dia pun berharap angka pengangguran tidak melonjak tahun ini. Selain itu, ia pun berharap pemerintah tak menaikkan cukai rokok di tahun depan.
ADVERTISEMENT
“Jika cukai industri tembakau pada 2022 dinaikkan, potensi badai PHK cukup besar dan pengangguran akan semakin melonjak,” tambahnya.