Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Salah satu pusat perbelanjaan yang berada di jantung kota Jakarta itu tampak berbeda saat jam makan siang pada Rabu 2 Oktober 2024 lalu. Mal yang telah dibuka sejak puluhan tahun itu terlihat sepi.
ADVERTISEMENT
Kursi-kursi food court lantai lima tak banyak terisi. Pengunjung lebih banyak terlihat sekadar berjalan-jalan menikmati suasana mal.
Selanjutnya kumparan mendatangi kantin pegawai yang memang harga makanan lebih murah dibanding di dalam mal. Salah satu penjual yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa saat ini situasi mal tidak selalu ramai.
Ia pun mengakui bahwa tingkat kunjungan tidak seramai beberapa tahun lalu. "Kadang ramai, kadang sepi. Tapi kita bersyukur aja dengan apa yang ada," katanya kepada kumparan saat di temui di lokasi.
Salah satu pengunjung mal, Aulia, mengakui bahwa ia hanya pergi ke mal dua kali dalam sebulan untuk sekadar cuci mata. Dia mengaku saat ini sering menahan keinginan membeli barang yang tidak terlalu mendesak.
ADVERTISEMENT
“Aku tipe yang kalau mau beli barang, dipikirin dulu. Kalau masih kepikiran baru aku beli. Sekarang lebih sering nahan belanja karena sudah punya anggaran untuk hal-hal lain,” ujarnya.
Senada dengan Aulia, Wibi menuturkan bahwa ia hanya pergi ke mal sebulan sekali. Ia menekankan, bahwa ia lebih memilih untuk menambah tabungan ketimbang menghabiskan uang untuk belanja yang tidak terlalu penting.
“Saya termasuk orang yang suka nahan belanja. Mikirnya harus nambah tabungan, belanja yang penting aja. Sisanya ditabung,” kata dia.
Setali tiga uang, Nasa mengaku hanya seminggu sekali ke mal. Itu pun ia telah mengalokasikan anggaran sebelumnya.
“Kalo butuh aku beli. Aku bukan tipe konsumtif, aku udah alokasikan buat belanja makanan atau lain,” ungkap Nasa.
ADVERTISEMENT
Situasi lesunya tingkat keterisian tempat makan dan kantin di pusat perbelanjaan ini menjadi cerminan kecil perubahan perilaku masyarakat untuk mengurangi konsumsi di tengah kondisi ekonomi yang lambat.
Lalu, apakah tingkat keterisian tempat makan di mal yang sepi dan perubahan perilaku berbelanja masyarakat ini menunjukkan terjadinya penurunan daya beli?
Daya Beli Turun, Masyarakat Kurangi Porsi Belanja
Fenomena sepinya tempat makan dan kantin pegawai di mal sedikit mencerminkan penurunan daya beli di masyarakat. Namun, indikasi terjadinya penurunan daya beli masyarakat ini semakin diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Deflasi adalah istilah dalam ekonomi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan BPS, Indonesia telah mengalami deflasi sejak Mei lalu sebesar 0,03 persen. Deflasi berlanjut pada Juni sebesar 0,08 persen, Juli 2024 sebesar 0,18 persen, dan September, terjadi deflasi sebesar 0,12 persen.
Sementara itu, Data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa meskipun belanja masyarakat secara keseluruhan meningkat pada kuartal ketiga 2024, kontribusi belanja dari wilayah Jawa justru menurun.
Penurunan daya beli di Jawa dapat dilihat dari perubahan preferensi belanja. Masyarakat mulai lebih selektif dalam mengeluarkan uang, terutama untuk barang-barang dengan harga yang lebih rendah.
Sektor lifestyle, seperti belanja olahraga, hobi, dan hiburan, memang meningkat, tetapi belanja di sektor elektronik justru mengalami penurunan sebesar 10,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Data tersebut sejalan dengan pola belanja yang lebih terarah pada kebutuhan pokok, dengan proporsi belanja untuk kebutuhan sehari-hari meningkat dari 35,4 persen di September 2023 menjadi 41,8 persen pada September 2024.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyatakan bahwa penurunan daya beli masyarakat kelas menengah bawah sudah terasa sejak awal tahun 2024, terutama setelah Idul Fitri. Di luar Pulau Jawa, daya beli relatif lebih stabil, tetapi di Jawa, khususnya Jakarta, kondisinya berbeda.
Alphonzus menyebut terjadi perubahan pola belanja masyarakat. Menurutnya, tingkat kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Namun, kunjungan tersebut tidak berbanding lurus dengan aktivitas belanja.
"Tingkat kunjungan tidak berkurang, masih tetap meningkat dibandingkan dengan tahun lalu. Hanya saja saat ini khusus konsumen kelas menengah bawah lebih membelanjakan uangnya untuk barang ataupun produk dengan harga satuan yang lebih kecil atau murah,” kata Alphonzus.
ADVERTISEMENT
Deflasi Beruntun Picu Resesi Ekonomi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai tren deflasi yang terjadi belakangan ini di Indonesia patut diwaspadai.
Menurutnya, deflasi yang berlangsung bukanlah pertanda keberhasilan pengendalian inflasi dari sisi pasokan, melainkan sinyal melemahnya daya beli masyarakat.
“Deflasi yang kita lihat saat ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi. Ini adalah tanda bahwa masyarakat sedang menahan belanja, bahkan lebih dari itu, uang yang mereka miliki untuk belanja sudah berkurang,” kata Bhima.
Bhima menjelaskan, kondisi ini menjadi anomali bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang sedang berada dalam fase bonus demografi. "Penduduk usia produktif kita besar, namun permintaan lemah. Ada apa dengan daya beli masyarakat?" tambahnya.
ADVERTISEMENT
Bhima juga menggarisbawahi bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen sudah terbukti berdampak negatif terhadap belanja masyarakat.
Terutama bagi kelas menengah yang rentan kehilangan pekerjaan. Sementara itu, kelas menengah atas juga cenderung menahan belanja, khawatir akan memburuknya situasi ekonomi.
"Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan, kita bisa melihat resesi ekonomi di awal 2025. Namun, perlu dipahami bahwa resesi tidak harus berarti pertumbuhan ekonomi negatif, melainkan perlambatan ekonomi yang disertai peningkatan pengangguran selama beberapa bulan berturut-turut," jelas Bhima.
Bhima menyarankan pemerintah menunda kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan beban masyarakat, termasuk rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Ia juga mengusulkan penundaan mega proyek infrastruktur, dan mengalihkan anggaran tersebut ke program perlindungan sosial bagi kelas menengah yang rentan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, juga menilai deflasi ini sebagai indikasi melemahnya daya beli masyarakat. Namun, Samirin menegaskan bahwa situasi saat ini tidak seburuk krisis ekonomi 1999. Kala itu, rupiah kehilangan nilai, kredit macet melonjak, dan terjadi krisis politik.
Berdasarkan data BPS, Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan beruntun pada 1999. Kala itu, kondisi ekonomi Indonesia sedang carut-marut pasca krisis 1998.
Pada Maret 1999 Maret terjadi deflasi 0,18 persen, April 1999 deflasi 0,68 persen. Kemudian pada Mei 1999 Indonesia mengalami deflasi 0,28 persen, Juni 1999 deflasi 0,34 persen, Juli 1990 deflasi 1,05 persen, Agustus 1999 deflasi 0,93 persen, dan September 1999 mengalami deflasi sebesar 0,68 persen.
"Situasi saat ini memang mengkhawatirkan, tetapi masih jauh jika dibandingkan dengan situasi 1999," kata Wija.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ekonom dari Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, menjelaskan bahwa meski telah terjadi deflasi selama lima bulan terakhir, penurunan harga masih relatif kecil.
“Indonesia belum masuk dalam tahap resesi, tetapi jika penurunan harga terus terjadi, ekspektasi negatif dari pelaku usaha bisa memperburuk situasi,” katanya.
Teguh menyarankan agar otoritas moneter segera menurunkan suku bunga untuk meningkatkan kredit perbankan. Sementara otoritas fiskal harus fokus pada kebijakan yang mampu meningkatkan daya beli masyarakat.
"Salah satunya penangguhan implementasi PPN 12 persen, membuat berbagai program padat karya, dan melakukan berbagai stimulus fiskal untuk dunia usaha khususnya untuk dunia usaha yang padat karya,” pungkasnya.
Pemerintah Bantah Deflasi Akibat Penurunan Daya Beli
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan deflasi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan hasil kerja keras pemerintah untuk menekan inflasi.
ADVERTISEMENT
"Jadi, kalau kita bilang inflasinya turun, (jadi) deflasi, ya ini karena ada extra effort oleh pemerintah menurunkan volatile food,” kata Airlangga.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dia menyebut, deflasi lima bulan berturut-turut terjadi karena turunnya harga pangan. Penurunan harga pangan, yang sempat melonjak tinggi pada tahun sebelumnya, dinilai menguntungkan konsumen yang sebagian besar pengeluarannya terfokus pada kebutuhan makanan.
“Kalau saya lihat dari sisi perkembangan inflasi, atau tadi disebutkan deflasi lima bulan berturut-turut, di satu sisi penurunan yang berasal dari volatile food. Itu adalah memang hal yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah, karena itu baik untuk konsumen di Indonesia,” kata Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT