Ekonom soal Beli BBM dan Minyak Goreng Pakai Aplikasi: Tak Semua Punya HP

29 Juni 2022 11:53 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketersediaan minyak goreng curah di Pasar Palmerah, Minggu (26/6/2022).  Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketersediaan minyak goreng curah di Pasar Palmerah, Minggu (26/6/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah bakal melakukan transisi sistem penjualan dan pembelian bahan pokok dengan memanfaatkan teknologi berbasis aplikasi. Bahan pokok yang sudah dipastikan mengalami perubahan cara transaksi adalah minyak goreng curah dengan aplikasi PeduliLindungi serta BBM menggunakan MyPertamina.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini menuai pro dan kontra lantaran dinilai menyulitkan para pedagang di pasar tradisional. Dewan Energi Nasional (DEN) mengkritik langkah tersebut akan menambah beban anggaran pemerintah. Lalu, bagaimana pengamat menyikapi langkah baru ini?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, mengungkapkan kebijakan penyaluran bahan pokok harus diikuti dengan target penerima manfaatnya. Apabila, penerima manfaatnya berasal dari kalangan bawah yang tidak memiliki smartphone, kebijakan pemerintah bakal kurang efektif.
"Kalau targetnya itu kalangan bawah apalagi yang paling membutuhkan yang paling bawah yang paling miskin, berarti banyak di antara mereka kita tahu tidak memiliki HP ya. Kalaupun punya ponsel, bukan yang canggih yang artinya bisa masuk segala macam aplikasi," jelas Faisal kepada kumparan, Rabu (29/6).
ADVERTISEMENT
Masalah lainnya, kata Faisal, dari sisi pengetahuan di mana masyarakat kelas bawah kurang memiliki literasi terhadap fitur aplikasi yang ada saat ini. Ini berkaca dari saat pemerintah sulit menyalurkan bantuan sosial (bansos) atau barang yang disubsidi untuk mereka, karena akses yang sulit dan latar belakang pendidikan yang terbatas.
Penggunaan aplikasi melalui ponsel pintar untuk mengakses bahan pokok akan membuat masyarakat yang berada di kelas bawah semakin mengalami kesulitan. Padahal, tujuan dari subsidi minyak goreng curah adalah untuk masyarakat kelas bawah.
"Apalagi ada persyaratan yang mempersulit untuk bisa mereka mengakses bahan pangan pokok, seperti minyak goreng ini akan semakin susah lah ya mencapai tujuannya minyak goreng curah ini. Mencapai tujuannya untuk bisa diakses dan juga dijangkau masyarakat kelas bawah," ujar Faisal.
ADVERTISEMENT
Faisal mengatakan, di sisi lain pemerintah juga memiliki beragam tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Terutama bagaimana mendistribusikan minyak goreng subsidi ke daerah terpencil yang aksesnya sulit untuk dilewati.
"Artinya tantangannya banyak, kendalanya banyak. Jangan kemudian makin dipersusah dengan mensyaratkan aplikasi-aplikasi PeduliLindungi atau Mypertamina kalau misalnya BBM ya. Saya rasa itu malah menjadi kontradiktif terhadap tujuannya," tegas Faisal.
Hal senada disampaikan Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tubagus Haryo Karbyanto, penerapan bahan pokok esensial seperti minyak goreng dan BBM perlu kajian mendalam. Sebab, hanya masyarakat yang memiliki smartphone, kuota internet dan berada di tempat dengan jaringan bagus yang bisa mengakses untuk mendapatkan subsidi.
"Kalau salah satu dari ketiga hal itu tidak ada, maka akhirnya transaksi yang diharapkan dari konsumen untuk bisa membeli produk esensial tadi bisa terganggu," tutur Tubagus.
ADVERTISEMENT
Tubagus menyarankan, pemerintah lebih baik menjadikan tanda pengenal (id card) sebagai syarat agar masyarakat mampu membeli kebutuhan pokoknya. Tubagus menganggap, saat aplikasi dijadikan alat untuk melakukan transaksi pada produk esensial, hal tersebut akan menambah permasalahan lainya terutama perlindungan atas data-data pribadi dari konsumen.
Ia berpendapat, penerapan minyak goreng curah menggunakan aplikasi PeduliLindungi dan BBM dengan MyPertamina lebih tepat disasar untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang tinggal di perkotaan besar. Hal ini didukung oleh kepemilikan smartphone dan infrastruktur yang bagus untuk mendapatkan jaringan internet.
"Saya kira penggunaan itu perlu dikaji lebih saksama dan tidak hanya melihat fenomena di kota-kota besar, tetapi juga harus melihat di rural area daerah-daerah pelosok, di mana 3 hal yang tadi saya sebutkan mungkin itu adalah tiga komoditas lain yang sangat mahal bagi mereka," tandas Tubagus.
ADVERTISEMENT