Eks Dirjen Pajak Sarankan DJP Langsung di Bawah Presiden

28 September 2021 20:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Galeri Pajak di Kantor Ditjen Pajak. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Galeri Pajak di Kantor Ditjen Pajak. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo menilai, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu memiliki kewenangan yang lebih besar dengan bertanggung jawab langsung di bawah presiden. Upaya ini dilakukan dalam rangka reformasi kelembagaan Ditjen Pajak dalam mengumpulkan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Ia pun mengutip laporan OECD mengenai lembaga otoritas perpajakan yang ideal di suatu negara. Menurutnya, ada sembilan kriteria agar lembaga perpajakan bisa semakin optimal mengejar target pajak.
"Menurut OECD, kewenangan strategis dan pengawasan langsung oleh Menteri Keuangan lebih dibatasi, seperti hanya pada pengangkatan board of directors dan perancangan kebijakan perpajakan," ujar Hadi dalam keterangannya, Selasa (28/9).
Adapun kesembilan kriteria itu adalah pertama, kewenangan untuk membuat peraturan; kedua, kewenangan untuk mengenakan sanksi atau denda; ketiga, kewenangan untuk mendesain sendiri struktur organisasi internal; keempat, kewenangan untuk membuat penganggaran atau pengalokasian anggaran.
Kelima, kewenangan untuk melakukan manajemen atau pengaturan komposisi pegawai; keenam, kewenangan untuk merekrut karyawan; ketujuh, kewenangan untuk mempekerjakan atau memecat karyawan; kedelapan, kewenangan untuk melakukan negosiasi penetapan upah karyawan; dan kesembilan, kewenangan untuk menetapkan standar pelayanan.
ADVERTISEMENT
"Semakin lengkap kewenangan otoritas pajak, diharapkan semakin baik sistem perpajakan sebuah negara," jelasnya.
Dirjen Pajak era Gus Dur, Megawati, dan SBY itu menyebut, pajak saat ini merupakan sebuah instrumen penting dalam jalannya sebuah pemerintahan dan tulang punggung keberlangsungan sebuah negara. Menurut Hadi, pungutan pajak merupakan sumber utama penerimaan sebuah negara.
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
"Hal tersebut berlaku pada negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Pungutan pajak menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara dalam APBN. Bahkan nilai penerimaan pajak dapat mencapai lebih dari 80 persen dari total penerimaan negara," jelas dia.
Hadi menceritakan, ide reformasi kelembagaan pada reformasi perpajakan sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah dilontarkan pada 2003. Bahkan usul ini secara eksplisit tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 2003 tentang APBN 2004.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan ide tersebut, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 secara implisit juga mengatur reformasi kelembagaan tersebut. Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengatur perlunya dibentuk bank data perpajakan.
"Dalam pasal tersebut diatur bahwa perlu adanya pengaturan pelaksanaan berbentuk peraturan pemerintah (PP). Hal tersebut memberi arti perlunya sebuah lembaga yang melaksanakan bank data perpajakan tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada presiden," jelas dia.
Sayangnya PP tersebut tidak terbentuk, sampai akhirnya pemerintah menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan setelah mendapat masukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"PP yang telah terbentuk tersebut tidak serta merta dapat dijalankan. Inkonsistensi pengaturan yang tidak selaras dengan UU diduga menjadi penyebab utama nyawa Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak dapat hidup," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Reformasi kelembagaan DJP juga pernah diusulkan oleh Presiden Joko Widodo untuk diatur dalam undang-undang melalui surat Presiden nomor R-28/Pres/05/2016 mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. RUU KUP Pasal 95 ayat (2) yang berbunyi 'Lembaga berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden'.
"Usulan ini disampaikan kepada DPR guna mendapatkan persetujuan. Namun belakangan, Menteri Keuangan mengesahkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.01/2016 yang diduga menganulir jalannya reformasi kelembagaan DJP tersebut," pungkasnya.