Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Ekspor Indonesia Turun 10,99 Persen, Sinyal Kuat Ancaman Resesi
17 Oktober 2022 14:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Setianto menjelaskan penyebab ekspor bulanan Indonesia turun lantaran disebabkan ekspor sektor migas yang anjlok signifikan 21,41 persen dibandingkan bulan sebelumnya, senilai USD 1,33 miliar.
Ekspor nonmigas juga mengalami penurunan yang cukup besar, ekspor nonmigas 10,31 persen, dari USD 26,17 miliar (Agustus) menjadi USD 23,47 miliar (September).
“Utamanya karena peran komoditas lemak dan minyak hewan atau nabati HS 15 yang turun sebesar 31,91 persen,” ujar dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, (17/10).
Menurutnya semua sektor mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, kecuali pertambangan. Terjadi peningkatan terbesar pada biji logam, perak, dan abu sebesar USD 238,1 atau 29.07 persen.
Dari negara tujuan ekspor, BPS mengemukakan penurunan ekspor pada bulan September 2022 ini terjadi untuk India, AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China. Hal ini cukup berpengaruh mengingat tiga negara ini merupakan target ekspor terbesar Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Ekspor nonmigas September 2022 terbesar adalah ke China, yaitu USD6,16 miliar, disusul Amerika Serikat (AS) sebesar USD2,11 miliar, dan Jepang USD2,10 miliar dengan kontribusi ketiganya mencapai 42,17 persen," pungkas Setianto.
Jadi Sinyal Resesi Ekonomi
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan anjloknya ekspor Indonesia September 2022 menjadi sinyal kuat ancaman resesi. Tren penurunan surplus perdagangan terjadi akibat moderasi pada harga komoditas ekspor utama terutama minyak sawit (CPO) dipasar internasional dan koreksi pada harga batubara dibanding bulan sebelumnya.
"CPO sangat terkait dengan ancaman resesi global yang menurunkan permintaan bahan baku terutama untuk industri pengolahan. Terkait batu bara meski krisis energi tengah berlangsung di zona Eropa, namun ancaman resesi membuat proyeksi kebutuhan batubara ditahun depan bisa menurun," katanya dalam keterangan.
ADVERTISEMENT
Price reversal atau pembalikan harga dari harga komoditas bisa menekan surplus perdagangan pada bulan Oktober.
Di sisi lain, dia juga menilai impor migas tidak bisa hanya dilihat menurun dibandingkan posisi bulan sebelumnya (Agustus 2022), tapi jika dibandingkan satu tahun terakhir, fakta bahwa impor migas naik 83,5 persen secara tahunan (year on year) perlu diwaspadai meski ada kebijakan kenaikan harga BBM, kenaikan defisit migas tetap tinggi. Per Januari-September 2022 defisit migas menembus USD 18,8 miliar, bahkan melebihi posisi Januari-Desember 2021 yang sebesar USD 13,2 miliar.
"Perlu diwaspadai dampak dari penurunan surplus perdagangan yang berlanjut terhadap stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Semakin turun pendapatan ekspor sementara kebutuhan impor migasnya meningkat, maka rupiah berisiko alami pelemahan secara kontinyu," terangnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga menyarankan pemerintah perlu mencari langkah-langkah mitigasi dengan peningkatan porsi ekspor produk industri pengolahan nonkomoditas, pencarian pasar alternatif yang masih cukup tahan terhadap ancaman resesi (di ASEAN ada Vietnam dan Filipina, Afrika Utara, dan Timur Tengah). Selain itu juga harus mengurangi ketergantungan pada konsumsi migas dengan percepatan transisi energi, memperbesar industri substitusi impor di dalam negeri.