Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan mengatakan para eksportir ini tidak memproduksi melainkan hanya membeli dari pengepul. Di lain sisi, menurut dia, eksportir minyak jelantah ini secara tidak langsung juga membantu masyarakat sehingga tidak sepatutnya dikenakan aturan DMO .
“Yang ingin saya pertanyakan kenapa kita dikenakan DMO padahal sudah membantu masyarakat. Ini kami bukan produksi juga kan,” kata Setiady pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Selasa (24/5).
Setiady mengatakan eksportir minyak jelantah ini mengumpulkan minyak jelantah dari restoran, dari pedagang kaki lima hingga hotel. Secara tidak langsung, menurutnya hal itu juga menguntungkan pemerintah dan masyarakat.
“Kita termasuk salah satu yang membantu meringankan beban pemerintah dari pencemaran lingkungan, lalu dari biaya hidup kesehatan dan tingkat kepandaian SDM. Semakin kita sehat kita punya SDM yang semakin pintar,” jelasnya.
Dia menjelaskan eksportir membeli minyak jelantah dari pengepul dengan harga HET yakni Rp 14 ribu per kg. Kemudian minyak jelantah itu dia ekspor dengan harga Rp 19 ribu per kg. Dalam satu bulan, pihaknya mampu mengumpulkan 20 ribu ton minyak jelantah.
ADVERTISEMENT
“Per tahun 360 ribu ton. Kita ekspor jadi Hydrotreated Vegetable Oil (HVO), itu untuk bahan bakar jet. Itu harganya fleksibel naik turun, kita jual di Rp 19 ribu. Tapi itu kena DMO habis. DMO itu kan ambil keuntungan dari kita jual,” kata dia.
Diketahui, minyak jelantah atau used cooking oil menjadi salah satu komoditas yang diatur di dalam Permendag Nomor 30 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor CPO, RBD Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil. Kendati begitu hingga saat ini Kemendag belum menentukan berapa besaran DMO yang dikenakan.