Eramet dan BASF Cabut dari Smelter Sonic Bay, Produk Nikel RI Gagal Bersaing?

30 Juni 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Tambang Nikel Indonesia Foto: Masmikha/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tambang Nikel Indonesia Foto: Masmikha/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua perusahaan asal Eropa, Eramet dan Badische Anilin- und Soda-Fabrik (BASF), memutuskan hengkang dari proyek smelter nikel Sonic Bay berlokasi di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Proyek senilai USD 2,6 miliar itu berupa pengembangan smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP). Produk akhir itu digunakan salah satunya sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengatakan keputusan itu tidak mengejutkan. Sebab, pasar nikel global sudah bergeser menjadi lebih ramah lingkungan.
"Indonesia membanjiri suplai nikel dunia dengan standar lingkungan yang juga merosot sehingga kita tidak perlu terlalu terkejut dengan bergesernya pasar nikel," kata Putra saat dihubungi kumparan, Minggu (30/6).
Putra menuturkan, BASF yang merupakan perusahaan kimia terbesar di dunia membutuhkan bahan baku MHP. BASF disebutkan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif memutuskan tidak jadi menyerap pasokan dari Indonesia, melainkan negara lain.
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah sudah berkomitmen mengembangkan ekosistem kendaraan baterai listrik, Putra pesimistis Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terdepan di dunia.
"Kita hanya memiliki 0.4 persen dari kapasitas produksi baterai dunia, sehingga janji hilirisasi sampai menjadi raksasa baterai tidak akan benar terealisasi. Mungkin sampai produk dasar atau menengah," tutur Putra.
Putra menambahkan, pertimbangan BASF dan Eramet mundur dari proyek di Indonesia juga kemungkinan disebabkan aturan-aturan negara maju yang mengecualikan produk nikel asal Indonesia masuk ke rantai pasok.
Salah satunya kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) di AS yang menjegal produk hilirisasi mineral dari China, termasuk Indonesia, masuk ke AS karena tidak punya Free Trade Agreement (FTA).
Kemudian, kebijakan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang berlaku akhir 2024, mewajibkan barang impor Eropa tidak bersumber dari lahan yang mengalami deforestasi.
ADVERTISEMENT
"Pernyataan resmi BASF Eramet berfokus pada pasar nikel dunia yang berubah namun selain itu cukup mungkin ada faktor dari isu lingkungan juga kebijakan proteksionis IRA," ujar Putra.
Putra menilai kemungkinan tersebut mengingat pertumbuhannya penjualan kendaraan listrik masih sangat pesat, tumbuh lebih dari 20 persen per tahun, meskipun saat ini ada sedikit perlambatan.
"Penerapan EU Battery regulation juga akan membuat standar pengadaan nikel semakin ketat ke depan," pungkasnya.
Dikutip dari Reuters, Eramet enggan menjelaskan lebih lanjut alasan perusahaan membatalkan investasinya senilai USD 2,6 miliar dari proyek hilirisasi nikel di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay tersebut.
“Setelah evaluasi menyeluruh, termasuk diskusi mengenai strategi pelaksanaan proyek, kedua mitra telah memutuskan untuk tidak melakukan investasi ini,” kata Eramet dalam siaran persnya, dikutip Rabu (26/6).
ADVERTISEMENT
Eramet menambahkan bakal terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya.