Fenomena Menunda Nikah-Punya Anak, Chatib Basri Beberkan dari Kacamata Ekonomi

28 Desember 2022 14:03 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi pasangan suami istri sedang berdiskusi tentang finansial rumah tangga. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi pasangan suami istri sedang berdiskusi tentang finansial rumah tangga. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Fenomena menunda menikah (waithood), menunda punya anak, hingga memiliki anak sedikit kian jadi pilihan sebagian besar generasi muda, baik di Indonesia maupun di dunia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, data statistik menunjukkan penurunan jumlah signifikan anak muda usia 16-30 tahun yang tercatat sudah menikah. Padahal bonus demografi Indonesia dielu-elukan bakal punya dampak yang luar biasa ke pertumbuhan ekonomi mendatang, dan digadang-gadang jadi jalan menuju Indonesia emas 2045.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil belum lama ini juga menyinggung soal apakah anak muda makin malas menikah, dengan mengutip data Statistik Pemuda 2021.
"Anak-anak muda Indonesia makin malas menikah? Betulkah? 2011 yang menikah ada di kisaran 46,5 persen, 2021 yang menikah turun ke 37,7 persen," tulis Emil di akun pribadinya.
Ekonom Senior Chatib Basri kemudian menjelaskan fenomena ini dari kacamata teori ekonomi. Chatib Basri mengambil pembanding antara masyarakat di negara maju dan negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang ekonomi ini memandang anak sebagai pengorbanan dan potensi hilangnya salah satu pendapatan dari sepasang suami istri yang bekerja.
Chatib Basri Foto: bekraf.go.id
Penjelasannya, di negara maju baik suami maupun istri keduanya cenderung memiliki pekerjaan. Dengan begitu, memutuskan untuk segera punya anak sama halnya dengan harus mengorbankan pendapatan salah satunya di antara mereka.
"Bayangkan di sebuah negara suami istri bekerja, keduanya memiliki pendapatan. Lalu mereka memutuskan untuk memelihara anak, maka akibatnya salah satu dari istri atau suami harus berhenti bekerja," tutur Chatib.
"Akibatnya ada pendapatan yang hilang, forgone income. Ini adalah cerminan opportunity cost, pengorbanan yang harus dilakukan demi memiliki anak," sambungnya.
Dengan teori, digambarkan sebuah harga yang harus dibayar jika ingin punya anak. Sehingga sudut pandang ini menggambarkan jika harga yang dikeluarkan atau dikorbankan relatif mahal, maka permintaan terhadap anak menurun.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kata Chatib, kemungkinan masyarakat di negara berkembang memiliki anak lebih banyak lantaran dengan teori ini risiko atau pengorbanan yang dilakukan relatif lebih kecil.
Ini dilihat dari segi lebih besarnya kemungkinan salah satu dari pasangan menganggur atau tidak bekerja. Sehingga risiko hilangnya pendapatan ketika merawat anak lebih sedikit.
"Di negara berkembang karena kesulitan mencari pekerjaan, maka ada kemungkinan apakah istri atau suami tidak memiliki pekerjaan. Akibatnya jika mereka memiliki anak, forgone income relatif kecil, pengorbanan relatif kecil," pungkasnya.