Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Sulit berkutik untuk mendapat beras berkualitas karena membeli dengan harga terlampau rendah, plus ruang penyaluran yang menyempit karena program pemerintah tak menjamin beras Bulog diserap masyarakat, mengakibatkan beras menumpuk di gudang Bulog. Seolah tak cukup, Bulog juga diisukan bakal bangkrut.
Tiga poin tersebut menjadi hal pokok yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/12). Jokowi tak berpanjang lebar. Ia meminta perbaikan mulai dari data, koordinasi, serta terobosan-terobosan baru.
“Penumpukan stok beras yang tidak tersalurkan jauh-jauh hari harus dipikirkan dan diputuskan… Saya minta regulasi dan manajemennya segera diselesaikan dan dibereskan, dan dibuat pola-pola baru, terobosan baru, sehingga tidak menjadi beban bagi Bulog,” ucapnya mengakhiri pidato pengantar ratas tersebut.
Persoalan beras dan Bulog memang tengah mendapat sorotan. Terlebih setelah Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh, mengumumkan bahwa Bulog akan memusnahkan 20.000 ton beras. Alasannya, beras-beras itu mengalami penurunan mutu akibat terlalu lama tersimpan dalam gudang.
“Ini yang jadi masalah. Dari pemerintah sudah ada (aturannya), tapi di Kemenkeu belum ada anggaran. Ini kami sudah usulkan, kami sudah jalankan sesuai Permentan. Tetapi untuk eksekusi disposal anggarannya tidak ada. Kalau kami musnahkan, gimana penggantiannya?” kata Tri dalam diskusi yang digelar Center for Indonesian Policy Studies di Kuningan, Jakarta, Jumat (29/11).
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), disebutkan bahwa CBP harus didisposal atau dibuang apabila telah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu.
Dari 2,3 juta ton beras yang kini ada di gudang Bulog, 100.000 ton di antaranya telah melebihi masa simpan empat bulan dan 20.000 ton yang hendak dimusnahkan telah berusia lebih dari satu tahun.
Tapi, pemusnahan yang dimaksud itu bukan dengan cara dibuang begitu saja. Tri mencoba menjernihkannya beberapa hari kemudian.
“Maaf perlu diluruskan pemberitaan yang ada, Bulog tidak pernah dan tidak berencana memusnahkan atau membuang stok,” ucapnya kepada kumparan, Senin (2/11).
Ia pun menjabarkan bahwa yang dimaksud disposal itu adalah pelepasan stok dengan beberapa cara. Pertama, penjualan di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET). Kedua, pengolahan untuk memperbaiki mutu beras. Ketiga, penukaran agar mendapat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan mutu lebih baik. Keempat, hibah dan bantuan sosial kemanusiaan.
Kini, pengolahan kembali menjadi jalan yang akan dipilih Bulog. Direktur Utama Perum Bulog Komjen Pol (Purn.) Budi Waseso menjelaskan bahwa beras tersebut akan dipilah terlebih dulu untuk kemudian ditentukan pengolahan lanjutannya.
Mantan Kepala BNN yang akrab disapa Buwas itu berkata, “Kita ubah jadi tepung terigu atau juga bisa kita jual untuk pakan ayam. Tentu harganya akan selisih turun. Atau yang dinyatakan oleh laboratorium sudah tidak layak dikonsumsi sama sekali baik oleh hewan atau manusia, maka akan dimanfaatkan untuk apa? Umpamanya sekarang masih bisa dibuat untuk etanol.”
Disposal beras CBP ini diduga karena stok yang ada tak tersalurkan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah perubahan program Beras Sejahtera (Rastra) yang sebelumnya dipenuhi seluruhnya oleh Bulog, kini berbentuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Dalam skema BPNT, sekitar 15,5 juta Kelompok Penerima Manfaat yang memiliki Kartu Keluarga Sejahtera kini menerima subsidi dalam bentuk uang yang tersimpan dalam akun bank. Mereka kemudian bisa memilih sendiri bahan pangan yang hendak dibeli melalui e-warong atau para pedagang yang telah ditetapkan sebagai penyalur BPNT.
Skema ini membuat penyaluran beras Bulog melalui program pemerintah menyempit. Meskipun Kementerian Sosial telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 01/MS/K/07/2019 tentang Perum Bulog Sebagai Penyedia Komoditas Bantuan Pangan Nontunai, namun ini tak serta-merta membuat produk yang disalurkan Bulog diserap pasar. Sebab masyarakat dapat memilih penyedia komoditas BPNT lain di luar Bulog.
“Sekarang kan adanya baru edaran Menteri Sosial, belum keputusan menteri. Kalau (bentuknya) edaran, kan boleh dilaksanakan boleh tidak. Namanya juga edaran, ya enggak?” ucap Buwas usai ratas.
Menurut pengamat pangan IPB, Dwi Andreas, total beras yang seharusnya disalurkan ke warung-warung yang telah ditunjuk itu diperkirakan sebanyak 700 ribu ton hingga akhir Desember.
“(Namun) berapa yang sudah dipasok Bulog melalu program tersebut? Hanya 122 ribu ton,” ucap Dwi kepada kumparan di gedung Indonesian Center for Biodiversity & Biotechnology, Bogor.
Dwi berpendapat, Bulog harus berubah dan keluar dari zona nyamannya. “Berubah dari zona nyaman ketika program Rastra dan Raskin di mana in and out-nya jelas menjadi Bulog yang harus betul-betul profesional.”
Ia juga menilai disposal beras kemungkinan berasal dari serapan dalam negeri, bukan impor. Sebab biasanya beras yang diimpor adalah kualitas premium yang lebih terjamin mutunya. Sementara beras serapan dalam negeri cenderung berkualitas medium, apalagi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 terbilang rendah.
“Sehingga kalau saya lihat, justru disposal beras ini kemungkinan besar banyak disumbang oleh beras hasil serapan dalam negeri,” ucapnya. “HPP untuk gabah Rp 3.700-Rp 4.040. Dari mana dapat gabah dengan kualitas bagus dengan harga segitu? Sama saja dengan beras Rp 7.300 (harga beras di gudang Bulog), dari mana bisa dapat beras kualitas bagus dengan harga segitu?”
Dengan demikian, lanjut Dwi, aturan pemerintah ini membatasi Bulog untuk bisa menyerap gabah ataupun beras dengan kualitas lebih baik. Hal ini seolah jadi bantahan terhadap isu adanya mafia beras yang menjelek-jelekkan kualitas beras milik Bulog.
Keberadaan mafia pangan ini kerap disebut Buwas di berbagai kesempatan. “Bulog ini identik dengan beras yang jelek, beras yang bau. Image ini terus dibangun oleh orang-orang yang tidak mau Bulog membaik,” ucapnya di kompleks pergudangan Bulog, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (26/11).
Terkait mafia pangan, Buwas menyebut adanya indikasi kecurangan dalam penyaluran program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Ia menduga oknum penyalur beras palsu BPNT itu bisa mendapat keuntungan hingga Rp 9 miliar per bulan.
Menurut Buwas, ada sekitar 300 e-warong “siluman” atau 10 persen dari total e-warong terdaftar yang mencapai 3.000 titik. Untuk menindaklanjuti temuannya, Buwas pun menggandeng Satgas Pangan Polri.
“Kalau saya ditanya mafia, mohon izin, saya tahu persis. Hanya kewenangan saya yang enggak ada. Ini harus kembalikan ke yang berwenang, yaitu di kepolisian,” ucap Buwas.
Menyoal ribut-ribut semacam itu, Dwi mengatakan seharusnya Buwas sebagai nakhoda Bulog bersikap lebih santai dan berupaya menjalin kepercayaan dengan swasta. Sebab, kata Dwi, selama ini Buwas kerap melontarkan kata-kata seperti mafia dan kartel yang malah dianggap bikin kondisi lebih gaduh.
Di sisi lain, sistem pangan bersifat liberal, di mana penguasaan pangan oleh swasta lebih besar dibanding pemerintah. Dan Bulog selama ini hanya mengendalikan kurang dari 10 persen konsumsi beras nasional atau sekitar 2-3 juta ton beras dari rata-rata total konsumsi nasional sebesar 32 juta ton per tahun.
“Apalagi Bulog, quote in quote, adalah orang pemerintah. Gampang saja, mana mafianya ya tangkap saja, kan selesai. Tapi ya apakah ada? Apakah sudah terbukti?” ujar Dwi.
Sejumlah pejabat Bulog, dari Tri Wahyudi hingga Buwas, yang dihubungi kumparan untuk mendapat keterangan lebih lanjut, tak merespons hingga artikel ini diturunkan.
“Enggak bisa sekarang, saya sudah ditunggu,” kata Buwas di kantor Bulog.
Sulit berkutik untuk mendapat beras berkualitas baik karena harga pembelian atau HPP yang terlampau rendah, ditambah ruang penyaluran yang dipersempit karena program pemerintah tak menjamin beras Bulog diserap masyarakat, Bulog pun diisukan bakal bangkrut.
Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI yang membahas Penyertaan Modal Negara kepada BUMN, Sri Mulyani menyebut Bulog bersama enam BUMN lain yang terus merugi meski telah disuntik dana. Buwas pun mengakui BUMN yang ia pimpin itu kini memiliki utang sebesar Rp 28 triliun dengan bunga yang terus berjalan.
“Bulog membeli beras, baik untuk CBP (Cadangan Beras Pemerintah) maupun untuk komersial, (dengan) pinjam uang dari bank,” ucap Buwas, menjelaskan mengapa utang tak bisa dihindari.
Oleh karenanya, Buwas berharap pengadaan CBP haruslah didanai pemerintah. “Berapa jumlahnya riil kalau kami membutuhkan itu? Paling tidak Rp 20 triliun sehingga kami tidak punya pinjaman yang ada bunganya.”
Mantan Direktur Utama Bulog, Sutarto Alimoeso, berpendapat tugas Bulog kini harus lebih diperjelas, apakah sebagai lembaga yang bertugas menstabilkan harga pangan atau sebagai lembaga yang harus mencari keuntungan. Baginya, kedua hal tersebut bertolak belakang dan sulit berjalan beriringan.
Soetarto juga mengatakan, pemerintah tak bisa begitu saja lepas tangan ketika Bulog mengalami kelebihan stok pangan. Sebab, salah satu tugas Bulog adalah menyerap beras dan gabah di petani untuk menstabilkan harga, dan hal tersebut dilakukan atas restu pemerintah.
“Karena ini adalah penugasan, tentunya pemerintah harus punya konsekuensi mengatur supaya ‘Oke, yang dibeli ini mau dikemanakan,’” ujar Soetarto kepada kumparan di kediamannya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (4/12).
Ia menegaskan, pemerintah harusnya memperhitungkan betul penugasan impor beras maupun kewajiban Bulog menyerap gabah dari petani, agar beras Bulog bisa tersalurkan dengan tepat.
“Sebenarnya peran Bulog itu apa, sih? Ini yang harus dipahami. Perannya stabilisasi harga. Bukan berbisnis.”