Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Harga Mi Instan Naik, Begini Dampaknya ke Pedagang dan Konsumen
16 Agustus 2022 7:16 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Pedagang dan konsumen mulai mengeluh akibat harga mi instan naik . Terhambatnya pasokan gandum ke Indonesia akibat konflik geopolitik Ukraina-Rusia, membikin produk turunannya seperti mi instan, bakalan mengalami kenaikan harga.
ADVERTISEMENT
Sebagai makanan yang sudah menjadi bagian konsumsi sehari-hari orang Indonesia, kenaikan harga mi instan berdampak bagi seluruh kalangan masyarakat. Berikut dampak-dampaknya:
Harga Mi Instan Sudah Naik Sejak Lebaran
Berdasarkan pantauan kumparan di Alfamidi Jati Padang, Senin (15/8) rata rata harga mi instan dijual Rp 3.000 per bungkus. Sedangkan, Alfamidi menjual indomie goreng sebesar 3.100 per bungkus. Harga mi instan merek lain, seperti Sedaap Mie Instan Goreng, dihargai dengan Rp 3.100.
“Iya, harga (mi instan) naik naik. Bersok pergantian lagi harganya sampai akhir bulan,” pungkas Aprilia, pegawai di Alfamidi.
Sementara itu, seorang pemilik warung di Jatipadang Poncol, Usman, sudah mengamati kenaikan harga sejak Lebaran. Usman menjual mi instan per bungkus di harga Rp 3.500 per bungkus, namun ia khawatir bahwa harga tersebut dapat mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
“Kenaikannya sekitar Rp 500 per bungkus. Bisa-bisa harga mi instan tembus Rp 4.000 per bungkus,” ujar Usman.
Pedagang Khawatir
Kekhawatiran melanda para pedagang yang menyediakan menu utama mi instan saat mendengar kabar kenaikan harga produk tersebut. Yani, seorang pemilik warung di daerah Lebak Bulus Jakarta Selatan, mengatakan jika harga mi instan naik drastis, ia akan mengubah fokus jualannya dengan makanan selain mi instan.
“Sekarang sih belum [naik harga], tapi was-was nonton berita terus katanya harga Indomeia akan naik tiga kali lebih mahal. Nanti kalau harga naik, takut kurang pembeli, tapi kalau terlalu murah jualnya, saya nggak untung,” ujar Yani.
Yani mengaku belum menaikkan harga mi instan yang disajikan di warungnya, karena meskipun ia sudah merasakan kenaikan harga, menurutnya harga belum naik secara drastis.
ADVERTISEMENT
Konsumen Kurangi Konsumsi Mi Instan
Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno mengatakan bahwa akan ada penyesuaian konsumsi masyarakat Indonesia akibat kenaikan harga mi instan. Menurutnya, mi instan akan tetap jadi makanan yang kerap dikonsumsi orang Indonesia, namun dengan frekuensi yang berkurang dibandingkan sebelumnya.
“Mi instan bukan makanan pokok orang Indonesia, akan tetapi orang Indonesia rajin sekali konsumsi mi instan. Mestinya ada penyesuaian antara keinginan dan kebutuhan, dimana makanan asal gandum ini sudah masuk kategori keinginan semestinya. Ini bisa jdi salah satu strategi keuangan bagi konsumsi Indonesia secara keseluruhan,” kata Agus dalam wawancara dengan kumparan, Senin (15/8)
Produsen Mi Instan Tidak Terpengaruh
Agus Suyatno mengatakan perusahaan besar produsen mi instan tidak akan terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga ini karena mereka dipastikan memiliki stok yang cukup untuk terus menjual produk tersebut. Ia juga menambahkan bahwa meskipun stok sudah habis, produsen mi instan memiliki sumber daya yang cukup untuk mengembangkan mi instan dari bahan pokok lain.
ADVERTISEMENT
Agus menilai dampak terbesar akan dirasakan pengusaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM ) yang menjual mi instan sebagai makanan utama.
“Karena gandum itu kan bahan pokok banyak variasi makanan Indonesia, mi instan, kue, dan gorengan, jadi pasti mereka terdampak sekali oleh kenaikan harga ini. Terutama UMKM karena terganggu sekali pasokan bahan bakunya,” Agus menyampaikan.
Kesempatan Pemerintah Mengembangkan Produksi Substitusi Gandum
Agus menjelaskan, kenaikan harga gandum ini merupakan kesempatan pemerintah untuk mulai mengembangkan bahan-bahan alternatif gandum untuk produksi mi instan, seperti sorgum atau tepung singkong. Ia juga melihat kenaikan harga gandum ini dapat mendorong pemerintah untuk mengurangi impor gandum.
“Konsumsi gandum kita terbesar sedunia, padahal kita impor. Pemerintah harus segera memikirkan pengembangan barang substitusi,” pungkas Agus.
ADVERTISEMENT
Namun, ia ragu pemerintah akan menggeser fokus impor untuk berpihak ke petani substitusi gandum tersebut. Hal ini karena masyarakat sudah ketergantungan dengan konsumsi makanan turunan gandum. Ia berpendapat pemerintah harus menciptakan kebijakan yang berpihak pada petani, yang kemudian mengembangkan barang-barang substitusi gandum.
***
Reporter: Nabil Ghazi Jahja