Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ekonom Center of Law Economic Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, melihat kenaikan harga minyak akan memberi efek positif bagi APBN. Namun, apabila efek kenaikan harga minyak terlalu tinggi, akan menyebabkan belanja subsidi membengkak secara signifikan. Inflasi dari sisi energi akan membuat penerimaan negara melemah.
“Kalau subsidi pun, masih bisa digantikan melalui keuntungan tak terduga dalam pendapatan negara (windfall profit) dari segi penerimaan minyak dan gas (migas) dan Sumber Daya Alam (SDA). Imbas inflasi di masyarakat juga mempengaruhi postur anggaran,” katanya kepada kumparan, Jumat (4/2).
Bhima mengkhawatirkan jika pemerintah menahan kenaikan realisasi subsidi dan membebankan kepada BUMN energi, meski acuan Indonesian Crude Price (ICP) naik. “Ujung-ujungnya pemerintah yang menanggung beban, baik langsung maupun tidak langsung,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga minyak bisa berdampak pada sisi belanja dan penerimaan. Dari sisi penerimaan, target penerimaan pajak APBN 2022 sebesar 1.510 triliun dapat tercapai.
“PPh migas dan PPh ekspor akan membantu penerimaan pajak tahun ini. Untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), masih cukup optimis menembus target di atas 350 triliun,” ucapnya.
Menurut Bhima, penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) akan memangkas PNBP Crude Palm Oil (CPO). Namun, Bhima masih optimis karena harga minyak di pasar internasional masih tinggi.
Sementara itu, di sisi belanja, setiap kenaikan USD 1 per barel dapat berdampak pada penambahan belanja negara menjadi Rp 2,6 triliun.
“Saat ini harga minyak di kisaran USD 90-92 per barel maka pembengkakan belanja diproyeksi mencapai Rp 75,4 triliun,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT