Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Tergulingnya” Ari Askhara akibat Harley selundupan seolah membongkar borok-borok Garuda dalam semalam. Yang terbaru, ada pula dugaan penyelewengan dana CSR Garuda. Kali ini, Garuda benar-benar mengalami “crash landing”.
Rapat Komisi VIII dengan direksi Garuda Indonesia berakhir dengan adegan kejar-kejaran. Fuad Rizal dan Pikri Ilham Kurniansyah, Direktur Keuangan dan Direktur Niaga Garuda, berlari meninggalkan ruangan lewat pintu samping. Keduanya melesat ke arah tangga darurat menuju parkiran Gedung Nusantara II DPR RI—tempat mobil sudah menanti.
“Tangga darurat di sini, kayaknya aman,” ujar salah seorang di antara rombongan staf Garuda. Suara itu terdengar panik. Demikian pula raut wajah Fuad dan Pikri yang ketiban sial harus menghadiri rapat DPR mewakili bos mereka, Direktur Utama Garuda Ari Askhara.
Benar saja, tangga darurat yang mereka sangka bisa menjadi jalur kabur mulus, nyatanya tak seaman itu. Puluhan pasang mata telah mengincar. Langkah-langkah kaki berderap mendekati para pejabat Garuda yang jadi sasaran.
Fikri yang pertama kali keluar dari ruangan Komisi VIII langsung gugup. “Saya mau ke toilet,” katanya sambil membuka pintu tangga darurat—bukan toilet.
Ia lalu lari terbirit-birit menuruni tangga. “Saya buru-buru. Ampun… ampun,” ujarnya kalang kabut.
Di belakangnya, Vice President Corporate Secretary Garuda Ikhsan Rosan berjalan sambil menggenggam ponsel erat-erat. Ia terus-menerus menatap layar gawai itu dan tampak sibuk berbalas pesan.
Sejak di ruang rapat, mata Ikhsan memang sudah terpaku pada ponsel. Gurat cemas terpancar jelas di paras. Terlebih saat legislator Golkar Endang Srikarti Handayani menginterupsi jalannya rapat pembahasan komponen biaya penerbangan haji 2020 itu.
“... Saya dengar Dirut Garuda sekarang sudah dipecat. Saya tidak tahu ini betul atau tidak,” kata Endang.
Seisi ruangan langsung berdengung riuh. Pemimpin rapat, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang, tertawa maklum. Kabar pemecatan I Gusti Ngurah Ari Askhara Danadiputra baru saja menyebar.
Berbarengan dengan rapat di Komisi VIII DPR yang dihadiri direksi Garuda itu, Menteri BUMN Erick Thohir di Kementerian Keuangan mengumumkan pemberhentian Dirut Garuda Ari Askhara karena terbukti menyelundupkan Harley-Davidson via pesawat Garuda.
Berita itu sekejap menjadi obrolan terbuka di Komisi VIII, dan Ikhsan Rosan—yang sedari awal lebih berkonsentrasi pada ponsel ketimbang mengikuti jalannya rapat—terlihat semakin gelisah.
“Pak Erick sudah mengeluarkan keputusan, kami ikuti saja. Kami patuh,” ujarnya singkat ketika dicecar wartawan. Ia pasrah menjadi target lontaran pertanyaan setelah Fuad dan Pikri menghilang ke dalam mobil.
Hari itu, Kamis 5 Desember 2019, akan tercatat dalam sejarah Garuda Indonesia sebagai salah satu titik guncang mereka. Dua hari kemudian, Sabtu (7/12), empat direktur Garuda menyusul diberhentikan karena terindikasi terlibat penyelundupan Harley.
Semua gara-gara Ari Askhara.
Cercaan terhadap Ari Askhara gaduh terlontar. Ia seakan jadi biang prahara Garuda. Empat hari setelah Ari dipecat, Senin (9/12), Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) menyambangi Kementerian BUMN. Mereka, merasa mendapat angin segar dengan berakhirnya “rezim” Ari, membawa setumpuk aduan soal sang mantan bos.
Di bawah komando Zaenal Muttaqin, Ketua Umum IKAGI yang empat bulan belakangan dilarang terbang (grounded) oleh manajemen Garuda, mereka membeber “borok-borok” Ari.
Borok-borok itu, menurut IKAGI, antara lain pengalihan direct flight Jakarta-London dan Jakarta-Amsterdam jadi Denpasar-Kualanamu-London dan Denpasar-Kualanamu-Amsterdam.
Perubahan rute penerbangan internasional melalui Denpasar dan Medan itu disebut IKAGI menyebabkan jam kerja awak kabin melebihi batas wajar—19 jam dari seharusnya 14 jam terbang maksimum berdasarkan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulations/CASR).
Pelanggaran tersebut sebetulnya telah berbuah teguran dari Kementerian Perhubungan pada awal September 2019 agar Garuda memperhatikan aspek risiko kelelahan atau fatigue risk management. Surat peringatan itu menyebut bahwa sepanjang Agustus, terdapat empat kali kelebihan jam kerja yang dialami awak kabin Garuda pada rute Denpasar-Kualanamu-London.
Kelebihan jam kerja bukan hanya terjadi pada rute penerbangan internasional ke London dan Amsterdam, tapi juga Jakarta-Melbourne serta Jakarta-Sydney.
Hersanti, salah satu pramugari yang ikut dalam rombongan IKAGI ke Kementerian BUMN, mengeluhkan rasa lelah yang menderanya. “Saya harus bekerja 18 jam. Kami manusia, bukan robot. Sebaiknya perlakukan kami seperti manusia. Kami harus tidur,” ujarnya.
Garuda merespons surat teguran Kemhub usai Ari Askhara dicopot. Selasa (10/12), maskapai penerbangan itu kembali memberikan fasilitas menginap kepada awak kabin yang bertugas pada penerbangan pulang pergi di rute internasional.
Selang dua hari, Kamis (12/12), Garuda menutup penerbangan Denpasar-Kualanamu-London dengan alasan rute tersebut tidak menguntungkan karena tak memiliki banyak penumpang. Seluruh rute penerbangan ke Eropa bahkan akan dievaluasi.
“Penerbangan ke London suspend. Tidak terlalu urgen terbang ke Eropa. Kami melihat profitabilitas, untuk membuat perusahaan lebih sehat,” kata Pikri Ilham Kurniansyah, Direktur Niaga Garuda yang tepat seminggu sebelumnya kejar-kejaran dengan awak media di Gedung DPR demi menghindari pertanyaan tentang Ari Askhara.
Bila rute London disebut tak menguntungkan, rute Amsterdam pun mengalami penurunan jumlah penumpang sejak diubah melalui Medan dan Denpasar.
Berdasarkan informasi sumber kumparan di Bandara Schiphol, penumpang Garuda dari Amsterdam pada Oktober dan November 2018 (saat masih direct flight ke Jakarta) berjumlah 7.834 orang dan 5.350 orang. Sementara pada Oktober dan November 2019 (ketika rute sudah beralih ke Medan-Denpasar), berjumlah 5.776 orang dan 3.399 orang. Artinya, terdapat penurunan 27-37 persen.
Seorang pilot Garuda mengatakan, rute lama Amsterdam-Jakarta memang menguntungkan. Meski demikian, berkurangnya jumlah penumpang sejak rute diubah via Medan bisa jadi karena jenis pesawat pada rute itu juga berganti, dari Boeing 777 berkapasitas 393 penumpang menjadi Airbus A330-200 berkapasitas 217 penumpang. Otomatis, jumlah kursi turun 45 persen.
Edi Lesmana, pegawai Gapura Angkasa—anak usaha Garuda yang bergerak di bidang ground handling atau pelayanan penumpang bandara, menceritakan sebagian penumpang Indonesia dari Eropa kecewa dengan perubahan rute Amsterdam-Jakarta menjadi Amsterdam-Medan-Denpasar. Terutama mereka yang hendak menuju Indonesia timur.
“Connecting flight di Cengkareng banyak, di Medan enggak. Dari Medan tetap harus ke Cengkareng dulu, baru bisa connect ke Ambon. Takes time lagi. Itu pun sering nggak bisa langsung dapat penerbangan lanjutan, karena sampai di Cengkareng dari Medan sudah sore. Jadi harus tunggu hari berikutnya. Akhirnya keluar biaya tambahan untuk menginap di Jakarta, dan itu bikin nggak happy. Waktu lebih lama, uang lebih banyak,” tutur Edi.
Di sisi lain, ujar pengamat penerbangan Alvin Lie, orang Eropa boleh jadi senang dengan rute yang melintasi destinasi wisata favorit Indonesia itu. “Seperti tamu saya dari Belanda beberapa pekan lalu. Dia ada urusan bisnis di Jakarta, lalu terbang Amsterdam-Medan-Denpasar, dan suka banget karena seperti dapat bonus berlibur di Bali sebelum ke Jakarta.”
Cacat Ari Askhara yang disebut IKAGI selanjutnya ialah kebiasaan memindahtugaskan karyawan yang dianggap melakukan kesalahan, sekecil apa pun. “Awak kabin jadi terancam,” kata Sekretaris IKAGI Jacqueline Tuwanakotta.
Pegawai yang dinilai tak sejalan pun disebut dipindahkan semena-mena. Pula, anggota direksi di anak-anak usaha Garuda bisa dicopot begitu saja. Ini, misalnya, terjadi pada Grace Purukan, mantan Direktur Utama PT Aerofood Catering Services (ACS)—penyedia katering maskapai yang bagian dari Garuda Indonesia Group.
Ia diberhentikan mendadak pada 26 September 2018—dua minggu setelah Ari Askhara duduk di kursi Dirut Garuda. Ketika itu, Grace baru menjabat sebagai Dirut ACS selama enam bulan dari masa kontrak yang mestinya tiga tahun.
“Kalau direksi mau diganti, 14 hari sebelumnya harus dikasih tahu untuk menyampaikan pendapat. Jadi diberi tahu kesalahannya dan dikasih kesempatan ‘melawan’—keberatan atau tidak. Tapi itu enggak. Pagi saya dipanggil, sore sudah diganti,” ujar Grace.
Padahal, Anggaran Dasar perusahaan menyebut bahwa pergantian direksi harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham, RUPS Luar Biasa, atau rapat pemegang saham di luar keduanya.
“Aturan ini dilanggar semua. Memberhentikan orang tanpa alasan,” kata Grace. Ia lantas menggugat pemegang saham PT ACS ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menuding Ari Askhara mengintervensi pemberhentian sepihaknya sebagai Dirut ACS.
Di awal Ari menjabat, memang terjadi banyak pergantian direksi di berbagai anak usaha Garuda. Sepanjang periode kepemimpinannya pun, menurut sumber internal Garuda, sudah seratusan orang dipindahtugaskan.
Hal lain yang menambah cela Ari Askhara ialah jabatannya—dan para direksi Garuda—yang melimpah ruah di deret anak usaha Garuda. Ari terdaftar sebagai komisaris utama di enam anak/cucu usaha Garuda.
Pertama di GMF AeroAsia, layanan fasilitas perawatan pesawat terbesar di Asia. Kedua di Citilink, maskapai penerbangan berbiaya murah. Ketiga di Aerofood ACS, jasa katering maskapai. Keempat di Garuda Energi Logistik Komersial (GELKo), usaha dagang dan sewa suku cadang/mesin pesawat, penyediaan energi, distribusi BBM, dan pengelolaan limbah. Kelima di Garuda Indonesia Air Charter. Keenam di Garuda Tauberes, jasa logistik yang menghubungkan layanan kargo udara dengan agen pengiriman barang.
Tiga cucu usaha yang disebut terakhir—GELKo, Garuda Indonesia Air Charter, dan Garuda Tauberes—baru berdiri pada 2019. Perusahaan-perusahaan itu dibuat tanpa sepengetahuan Dewan Komisaris Garuda.
“Biasanya satu direktur cuma jadi komisaris di satu anak perusahaan, enggak rangkap semua begini,” ujar seorang sumber yang bekerja di maskapai itu sejak zaman Presiden Soeharto.
Meski rangkap jabatan para direktur Garuda tak melanggar hukum, hal itu membuat Kementerian BUMN tercengang dan berencana membatasinya lewat penambahan regulasi.
Seolah semua borok itu tak cukup, terungkap pula dugaan penyalahgunaan dana sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) Garuda. Pada soft copy kliring yang diterima kumparan, tertulis pengiriman uang Rp 50 juta dari PKBL Garuda Indonesia ke Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia untuk Pemilihan Umum 2019 IKAGI.
PKBL atau Program Kemitraan Bina Lingkungan ialah bentuk tanggung jawab BUMN kepada masyarakat dengan turut aktif membina usaha kecil dan memberdayakan kondisi lingkungan lewat pemanfaatan empat persen dari laba bersih BUMN.
“Itu dana buat eksternal, sebagai nilai tambah perusahaan ke masyarakat dan lingkungan. Seharusnya tidak dialokasikan untuk kepentingan serikat pekerja di internal perusahaan. Bukan untuk pembentukan pengurus baru yang bisa diatur manajemen,” kata sumber kumparan di lingkaran Garuda.
IKAGI yang dimaksud pada formulir pengiriman uang di atas ialah IKAGI yang memilih ketuanya pada September 2019, berbeda dengan IKAGI di bawah komando Zaenal Muttaqin.
“Itu IKAGI NEO bentukan Ari Askhara,” ujar salah satu pramugari senior Garuda.
Tim kumparan mencoba mengecek nomor rekening yang tertera pada kliring tersebut via mobile banking, dan tampak bahwa rekening tersebut dimiliki oleh pihak yang menyebut diri “Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia”.
Achmad Haeruman, Ketua IKAGI yang disebut pro-Ari Askhara, menampik penggunaan dana CSR Garuda oleh serikatnya. “Saya tegaskan, tidak pernah ada yang seperti itu. Silakan buktikan kalau memang ada.”
Regulasi soal penggunaan dana PKBL atau CSR BUMN telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/7/2017. Dalam aturan tersebut, dinyatakan bahwa dana PKBL ditujukan untuk usaha kecil yang menjadi mitra binaan BUMN.
Sejumlah pejabat Garuda yang dihubungi kumparan untuk diklarifikasi terkait persoalan ini tidak merespons panggilan telepon maupun pesan tertulis.
Bicara soal dana CSR, keuangan Garuda pada pertengahan 2019 juga sempat disorot lantaran disinyalir memoles laporan keuangan 2018 yang seharusnya rugi menjadi untung.
Audit Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan atas laporan tersebut menunjukkan, Garuda mestinya mencatatkan kerugian senilai USD 244,95 juta pada 2018. Namun, maskapai itu justru beroleh laba bersih USD 809,84 ribu—meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang merugi USD 216,58 juta.
Laba bersih itu ternyata didapat setelah Garuda memasukkan pendapatan dari hasil kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi—penyedia layanan WiFi dalam pesawat, serta dari bagi hasil dengan Sriwiyaja Air Group yang saat itu masih bergabung dengan Garuda.
Rencananya, Mahata akan memasang WiFi pada armada Garuda, Citilink, dan Sriwijaya; serta memasang televisi layar sentuh di tiap kursi pesawat. Kerja sama ini dirancang berlangsung 10-15 tahun, dan akan mengalirkan duit sebesar USD 239,94 juta.
Jumlah itulah yang akhirnya ditarik menjadi pendapatan Garuda tahun 2018, meski uang belum secara konkret masuk ke kas maskapai. Laporan keuangan itu kemudian ditolak oleh dua komisaris Garuda, salah satunya Chairal Tanjung—adik Chairul Tanjung, pemilik Trans Airways yang memegang 25 persen saham Garuda.
Garuda menganggap masuknya piutang sebagai pendapatan bukanlah masalah karena sesuai standar akuntansi keuangan. Namun Kemenkeu berpendapat sebaliknya. OJK lantas menjatuhkan sanksi denda Rp 100 juta masing-masing untuk perseroan, komisaris, dan direksi yang menandatangani laporan tersebut.
Bursa Efek Indonesia juga turut mendenda Garuda Rp 250 juta atas kelalaiannya menyajikan laporan keuangan.
Sejumlah pegawai Garuda menyatakan, seluruh borok Garuda kini terpampang jelas setelah Ari lengser. “Dia jatuh, semua terbuka.”
Padahal, Garuda sebelum huru-hara Ari pun sesungguhnya sudah dalam kondisi sulit, antara lain karena pembelian pesawat besar-besaran di masa lalu yang harus dibayar mahal.
Belum lagi, posisi dilematis Garuda di antara dua kementerian. “Kepalanya dipegang oleh Kementerian BUMN, ekornya dipegang Kementerian Perhubungan. KemenBUMN minta profit, Kemenhub minta harga tiket turun,” ujar orang dalam Garuda.
Tak heran, menurutnya, siapa pun orang yang mengemban jabatan Dirut Garuda bakal mengalami kesulitan. “Setiap dirut selepas zaman Emir, pasti mengalami crash landing.”
Ia tak berlebihan. Emirsyah Satar, Dirut Garuda periode 2005-2014, mengakhiri sembilan tahun masa kepemimpinannya di Garuda dengan cukup tenang, meski dua tahun kemudian ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat.
Usai Emir, tiga dirut lain yang memimpin Garuda memiliki periode kepemimpinan pendek-pendek. Pengganti Emir, Muhammad Arif Wibowo, menjabat selama 2 tahun 3 bulan; Pahala Nugraha Mansury menjabat 1 tahun 5 bulan; dan terakhir Ari Askhara bahkan hanya bertahan 1 tahun 2 bulan—dan berakhir dengan skandal.
Ari sendiri sampai saat ini memilih bungkam. Dalam perbincangan singkatnya dengan reporter kumparan, ia hanya berkata, “Saya orang biasa.”