Hutan Sagu di Papua Terancam Habis Digilas Pembangunan Daerah

8 Desember 2018 17:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Batang pohon sagu yang sudah terbelah di hutan sagu Kampung Yoboi, Papua. (Foto:  Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Batang pohon sagu yang sudah terbelah di hutan sagu Kampung Yoboi, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pembangunan di daerah seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan akses masyarakat dalam beraktivitas, di sisi lain ada lahan-lahan yang harus direlakan hilang agar ekonomi bisa bergerak.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini yang terjadi di Kabupaten Jayapura, Papua. Hutan sagu alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di sana secara turun-temurun mulai tergerus derasnya pembangunan dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) kabupaten/kota yang berada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kepala Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Jayapura, Hana Hikoyabi, mengatakan saat ini jumlah hutan sagu yang ada di Kabupaten Jayapura seluas 3.302 hektare (ha) yang terdiri dari 6 distrik (kecamatan). Rinciannya, Sentani 1.964,5 ha, Sentani Timur 473,0 ha, Sentani Barat 74,6 ha, Waibu 138,9 ha, Unurum Guay 277,3 ha, dan Demta 374,6 ha.
Tapi, Hana menyebutkan, luas lahan hutan sagu itu akan terkikis oleh pembangunan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura dengan Fakultas Kehutanan Universitas Papua, lahan hutan sagu yang akan hilang diprediksi mencapai 2.832 ha. Itu artinya, lahan yang tersisa tinggal 470,5 ha di 6 distrik, Kabupaten Jayapura.
ADVERTISEMENT
Rincian potensi lahan yang hilang dari 6 distrik itu lebih dari 70 persen, bahkan di Distrik Sentani Barat dan Demta disebutkan lahan sagu akan lenyap 100 persen. Sementara di Sentani yang hutan sagunya paling besar, prediksi kehilangannya juga besar menjadi 1.507 ha atau terkikis hingga 77 persen.
Hutan sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hutan sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
"Ya itu tadi, karena ada pembangunan, toko, dan lainnya," kata dia saat ditemui kumparan dan rombongan Econusa di salah satu hotel di Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (8/12).
Sebelum bertemu dengan Hana dan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, kumparan melihat di sepanjang perjalanan dari Kantor Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua menuju lokasi, tampak pohon sagu di belakang toko atau ruko sepanjang jalan utama.
ADVERTISEMENT
Pohon-pohon sagu yang tumbuh di belakang ruko dan hotel-hotel merupakan sisa sejarah dari keberadaan hutan sagu yang hilang karena pembangunan. Kalaupun ada lahan sagu yang dipagari, itu berarti sudah dibeli orang dan tinggal menunggu untuk dieksekusi menjadi tempat lain.
Seorang wartawan lokal di Papua yang ikut dalam rombongan mengatakan pembangunan perumahan juga sedang giat-giatnya di Kabupaten Jayapura. Saat kami pulang, tampak perumahan baru bergenting warna biru berjejer di beberapa lokasi.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengakui jika hutan sagu di daerahnya mulai terkikis. Dia berpendapat, kebutuhan hidup masyarakat memaksa mereka menjual lahan sagu. Kata Mathius, orang tua perlu biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Ada juga calon legislatif yang butuh dana untuk kampanye memutuskan untuk menjual lahan sagunya.
ADVERTISEMENT
"Perlu duit. Ketika ada orang tawarkan ini (jual lahan sagu), ada pergulatan yang cukup dalam. Pengembang nih pintar juga, dia sudah terima uang ya sudah," tutur Mathius.
Untuk menjaga kelestarian hutan sagu, kata Mathius, sebenarnya daerahnya memiliki aturan khusus, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Hanya Pemda Jayapura yang memiliki aturan ini tapi sayangnya, kata dia, aturan ini belum sepenuhnya ditaati.
Batang pohon sagu yang sudah terbelah di hutan sagu Kampung Yoboi, Papua. (Foto:  Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Batang pohon sagu yang sudah terbelah di hutan sagu Kampung Yoboi, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Karena itu, kata dia, Tapi, agar hutan sagu tetap terjaga, kata Mathius, perlu ada perbaikan tata ruang (RTRW). Menurut dia, selama ini sistem pemerintah belum berpihak pada kelestarian hutan, terlihat dari mudahnya izin pembangunan.
"Sistem birokrasi kita belum berpihak pada lingkungan. Kalau perizinan. Artinya kerja kerja kita kan perlu berbasis lingkungan. Terus Kementerian PUPR itu juga. Kita juga berharap REI (Real Estate Indonesia) itu juga harus sepakat," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Pemda Jayapura pun mesti kerja lebih keras lagi untuk mensosialisasikan Perda Sagu ini kepada masyarakat bahwa hutan sagu merupakan potensi ekonomi yang besar, selain peninggalan nenek moyang yang memang harus dilestarikan.
Meski begitu, Mathius berpendapat, jika masyarakat diwajibkan menjaga hutan sagu mereka, pemerintah harus memberikan insentif atau alternatif yang memudahkan masyarakat. Hal ini, kata Mathius juga menjadi perdebatan di dunia internasional di mana masyarakat perlu didorong untuk menjaga hutan sagu mereka.
"Saya ikuti dua kali di Paris dan San Fransisco, seperti teman-teman di Amerika Latin. Mereka ngeluh, disuruh jaga hutan tapi dapat apa? Jadi harus ada keseimbangan," ucap dia.