Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
IESR: JETP Jangan Jadi Alasan Kebijakan Energi RI Didikte Negara Lain
2 Agustus 2023 19:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Transisi energi yang dikejar pemerintah saat ini membutuhkan dana besar. Masalahnya, dana yang dibutuhkan untuk beralih dari energi fosil ke energi bersih tidak sedikit. Menko Luhut Binsar Pandjaitan pernah menyebut nilainya USD 20 miliar.
ADVERTISEMENT
Karena itu pemerintah membuat program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati oleh pemimpin negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022 lalu.
Sejumlah negara maju diperkirakan akan memberikan dana ke Indonesia dalam program ini. Kementerian ESDM bahkan sudah membuat JETP Secretary sebagai tindak lanjut perjanjian pendanaan transisi energi.
Meski begitu, program ini perlu dikritisi. Manajer Program Energi Transformasi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan jangan sampai kebijakan energi Indonesia didikte oleh negara-negara donor karena adanya JETP.
Ia mengakui untuk pensiunkan PLTU dan mencari alternatif energi bersih tidak mudah dan membutuhkan biaya yang jumbo. Namun pemberian hibah tidak berarti Indonesia diwajibkan mengikuti seluruh permintaan terkait energi dari negara-negara G7. Deon berharap JETP ini dilihat sebagai investasi, bukan sebagai proyek.
ADVERTISEMENT
“Jangan Investasi yang mendikte kebijakan, tapi kebijakan yang mendikte investasi. Itu kan yang kita butuhkan. Berarti ada tugas besar untuk policy reform, tapi tetap keadilan dalam transisi. Itu harus datang dari kita dan butuh political will yang tinggi,” tuturnya dalam diskusi publik yang dipantau secara daring, Rabu (2/8).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Program Trend Asia dan Koordinator Gerakan Bersihkan Indonesia, Ahmad Ashov Birry, menyebutkan pemerintah RI untuk tetap awas terhadap komitmen JETP, karena banyaknya sejumlah tantangan yang dihadapi.
Ashov menegaskan meski Indonesia diberikan sejumlah hibah untuk mempercepat proses transisi energi oleh negara-negara maju, beberapa negara anggota G7 sebagai pemberi dana hibah belum menunjukkan tindakan serupa untuk mempercepat transisi.
“Misalnya kemarin John Kerry (Utusan Khusus Bidang Iklim Amerika Serikat), bilang AS tidak akan membayar kerusakan-kerusakan yang dihasilkan iklim. Jadi kita bisa bayangkan itu sebagai salah satu tantangan, negara donor saja belum terlihat keseriusannya,” ujar Ashov
ADVERTISEMENT
Selain itu, Ashov menyoroti para negara-negara G7 sebagai donor juga masih belum terbebas dari ancaman resesi, sementara dalam komitmen JETP, mereka diharuskan memberi pendanaan sebesar USD 20 miliar atau Rp 314 miliar kepada negara berkembang.
“Belum lagi, memang hibah sebesar itu ke negara seperti Indonesia akan dipakai untuk pensiunkan PLTU? Paling untuk bailout atas kesalahan perencanaan oversupply listrik PLN,” tegasnya.