Indef: 78 Ribu Buruh Kena PHK di 2024, Lapangan Usaha Belum Serap Tenaga Kerja

29 Januari 2025 14:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Frame China/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Frame China/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sepanjang 2024 hampir sebanyak 78 ribu orang karyawan atau buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Hal ini diutarakan Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
ADVERTISEMENT
"Di tenaga kerja memang terjadi konsistensi di Januari hingga Desember sangat tinggi hampir 78 ribu orang,” kata Rizal dalam media briefing Indef 100 Hari Asta Cita Ekonomi, Memuaskan? secara virtual, Rabu (29/1).
Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bagaimana lapangan usaha masih belum mampu untuk menyerap tenaga kerja, utamanya industri padat karya. Sebab angka PHK mencerminkan kinerja ekspor, produksi, hingga investasi tengah melemah. Sehingga, Rizal melihat pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada industri padat karya.
“Ini juga saya kira jadi challenging dan catatan penting bagaimana pengangguran bisa ditekan melalui tidak hanya lapangan kerja baru, tapi juga lapangan usaha yang memperkuat dan meningkatkan kapasitas dan produktivitas industri manufaktur,” jelasnya.
Fluktuasi signifikan terlihat dalam komponen tren, dengan titik penurunan terbesar terjadi di tengah periode. Penyebabnya adalah tantangan yang signifikan, seperti kebijakan yang kurang tepat, gangguan eksternal, atau perubahan pasar yang mempengaruhi performa.
ADVERTISEMENT
Dia kemudian membeberkan beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa diteken oleh pemerintah. “Pemerintah tentu harus menjaga melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terukur, sehingga daya beli masyarakat bisa meningkat,” tutur Rizal.
Lalu mempercepat hilirisasi industri dan diversifikasi ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas primer serta meningkatkan daya saing produk manufaktur.
Kemudian melihat penurunan net ekspor ini menjadi sinyal bagi pemerintah untuk memperkuat strategi perdagangan yang lebih tahan terhadap risiko global dan memprioritaskan pengembangan ekonomi domestik berbasis nilai tambah dan diversifikasi ekspor.
Pemerintah dan pelaku usaha terkait juga perlu memitigasi risiko yang menyebabkan fluktuasi, seperti gangguan rantai pasok atau kebijakan yang tidak sinkron dengan memanfaatkan momentum pemulihan, terutama sektor yang menyerap tenaga kerja untuk memperkuat sektor melalui investasi, inovasi, atau kebijakan proaktif.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah perlu mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur transportasi di wilayah Papua, Maluku, dan Sulawesi untuk mengurangi biaya logistik yang menjadi salah satu penyebab utama inflasi tinggi,” tutup Rizal.