Indef: Bukit Algoritma Berpotensi Senasib dengan Bandara Kertajati

15 April 2021 16:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desain Bukit Algoritma. Foto: Dok. Sukabumi Update
zoom-in-whitePerbesar
Desain Bukit Algoritma. Foto: Dok. Sukabumi Update
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi rencana pembangunan Bukit Algoritma yang digadang-gadang menjadi Silicon Valley versi Indonesia. Bukit ini akan didirikan di Sukabumi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Peneliti Center of Innovation and Digital Indef Hanif Muhammad mengaku ragu jika proyek ini bisa seperti Silicon Valley seperti di Amerika Serikat. Sebab, inisiator Bukit Algoritma yaitu Budiman Sudjatmiko menyebut sejauh ini hanya melibatkan pihak swasta sebagai investor untuk membangunnya.
Dia mencontohkan, program Science Techno Park yang merupakan Silicon Valley versi pemerintah yang digagas pada 2015 pun harus gagal karena tidak melibatkan pelaku industri dan universitas. Alih-alih menjadi tempat riset, proyek ini hanya akan menjadi sewa properti.
"Ketika pure diinisiasi pemerintah saja, 100 Science Techno Park pada 2015-2019 itu terbukti gagal. Sekarang ada Bukit Algoritma yang inisiatornya sendiri (berdasarkan) pernyataan dia murni swasta. Apakah ini akan gagal kembali? Atau ini hanya proyek properti?" katanya dalam Diskusi Online Indef 'Menyingkap Angan Silicon Valley ala Indonesia', Kamis (15/4).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, ada beberapa syarat yang harus dilakukan jika ingin menjadikan Bukit Algoritma layaknya Silicon Valley. Pertama dan yang terpenting adalah harus membangun ekosistemnya dulu.
Silicon Valley. Foto: Shutter Stock
Ekosistem tersebut mencakup tiga hal. Pertama, triple helix collaboration yaitu kemitraan antara pemerintah, industri, dan perguruan tinggi untuk membangun ekosistem berbasis pengetahuan. Sebab, inti dari Silicon Valley adalah ilmu pengetahuan yang disinergikan dengan industri.
Kedua, biaya untuk Research and Development (R&D) yang cukup. Sejauh ini, biaya riset Indonesia masih sangat minim. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2017, dana R&D Indonesia hanya 0,24 persen terhadap PDB atau hanya unggul dari Myanmar 0,03 persen, Kamboja 0,12 persen, dan Filipina 0,14 persen.
Sedangkan Indonesia kalah jauh dari Vietnam 0,53 persen, India 0,62 persen, Thailand 0,78 persen, Malaysia 1,44 persen, China 2,13 persen, Singapura 2,22 persen, Jepang 3,20 persen, dan Korea tertinggi 4,55 persen.
ADVERTISEMENT
Ketiga, sumber daya manusia atau talenta yang mumpuni di bidang industri digital dan teknologi. Tanpa SDM yang berkualitas, proyek ini hanya akan mendatangkan tenaga kerja asing lebih banyak dibandingkan warga sendiri.
"Atau ini memang proyek properti sebenarnya. Karena building, equipmentnya nanti di-inject ke situ, dan bagaimana pun pemerintah akhirnya ikut support menyediakan infrastruktur pendukungnya seperti jalan dan lain-lain," ujarnya.
Selain itu, ego sektoral antar lembaga dan kementerian di Indonesia pun masih tinggi. Hal ini juga yang menyebabkan revisi berkali-kali pada proyek Science Techno Park dari 100 lokasi menjadi hanya 22 dan kemudian dilimpahkan ke universitas.
Keraguan terhadap proyek ini juga diungkapkan Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda. Dia menyebut proyek ini sebuah kehaluan dan berpotensi mangkrak seperti Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Berbagai permasalahan mendasar harus diperbaiki terlebih dahulu karena sangat berpotensi sekali bukit algoritma mangkrak dan bisa seperti proyek lainnya yang pemanfaatannya tidak maksimal, seperti Bandara Kertajati yang hanya menjadi bengkel pesawat," kata Huda.
Bandara Kertajati di Majalengka Foto: Shutter Stock
Huda mengaku heran dengan perusahaan-perusahaan yang disebut inisiator Bukit Algoritma karena ternyata pihak swasta dan BUMN di bidang jasa konstruksi. Perusahaan negara yang dimaksud adalah PT Amarta Karya (Persero) yang menjadi kontraktor fisik bangunan Bukit Algoritma.
Selain Amarta Karya, dua perusahaan lainnya di luar konstruksi adalah PT Kiniku Nusa Kreasi milik Budiman dan PT Bintang Raya Lokalestari yang dipimpin Dani Handoko. Kedua perusahaan ini membentuk perusahaan patungan bernama Kiniku Bintang Rasa KSO dan menunjuk Budiman menjadi ketua pelaksananya.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk ke Silicon Valley, menurut Huda, justru banyak perusahaan teknologi yang bergabung lebih dulu untuk membangun ekosistem risetnya dengan berkolaborasi bersama pihak universitas dan pemerintah.
"Kenapa disebut halu karena ada beberapa catatan yang saya temukan tidak bisa menunjang sebuah pembangunan Silicon Valley yang inklusif, malah bisa jadi eksklusif, dan bisa jadi serangan balik bagi perekonomian nasional," jelas Huda.