INDEF Sebut RAPBN 2021 Tidak Cerminkan Keseriusan Pemerintah Atasi Corona

10 September 2020 13:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah karyawan menggunakan masker saat bekerja di pusat perkantoran, kawasan SCBD, Jakarta, Senin (8/6/2020). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah karyawan menggunakan masker saat bekerja di pusat perkantoran, kawasan SCBD, Jakarta, Senin (8/6/2020). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menyebut ada anomali (kejanggalan) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021.
ADVERTISEMENT
Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus mengatakan, rancangan yang dibuat tak mencerminkan dasar yang kuat untuk menopang tujuan pemerintah yaitu menangani pandemi virus corona dan bangkit (rebound) secara ekonomi.
“Kalau kita lihat, berdasarkan belanja pemerintah pusat, anggaran tahun depan itu posturnya masih bisnis as usual. Seperti apa yang sudah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan yang mencolok yang menunjukkan keberpihakan pemerintah untuk mengatasi persoalan pandemi di Indonesia saat ini,” ungkap Ahmad dalam Diskusi Online INDEF Belanja Prioritas di Tahun Pemulihan, Kamis (10/9).
Menurut Ahmad, pun terlihat ada perubahan dibanding APBN 2020, namun esensinya tidak berubah, hanya meningkat secara nilai. Misalnya, belanja pemerintah pusat pada RAPBN 2021 memang secara total mengalami peningkatan sekitar 23 persen. Angkanya menjadi Rp 1.030 triliun pada 2021.
Ilustrasi Jakarta akan memberlakukan kembali PSBB. Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Sayangnya di sisi lain, anggaran kesehatan pada RAPBN 2021 justru disunat. Dari Rp 212,5 triliun pada 2020 menjadi Rp 169 triliun pada tahun depan atau turun sekitar 20 persen. Meskipun memang anggaran untuk Kementerian Kesehatan meningkat dari Rp 78,5 triliun di tahun ini menjadi Rp 84,3 triliun di tahun depan.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Ahmad, ada kejanggalan juga dalam postur anggaran Kementerian Kesehatan. Sebab meski secara total nilainya naik, namun terdapat penurunan anggaran pada pos non-kementerian/lembaga.
“Jadi belanja non-KL untuk Kemenkes menurun dari Rp 84,3 triliun menjadi Rp 35,6 triliun. Nah sementara yang menurut saya penting adalah belanja kesehatan di non KL-nya karena untuk rumah sakit, untuk laboratorium segala macem. Ini malah turun? Apakah nanti di 2021 masalah penyebaran COVID-19 ini telah teratasi sehingga pemerintah dengan percaya dirinya menurunkan anggaran kesehatan?” ujar Ahmad.
Hal ini menjadi janggal apalagi berkaca pada penambahan kasus harian yang hingga saat ini masih tercatat mengalami kenaikan. Menurut Ahmad, Indonesia akan terus mengalami eksponensial kasus jika anggaran kesehatan tidak direformasi.
ADVERTISEMENT
“Ini kan kalau mengaca ke pertambahan kasus yang eksponensial secara bisnis as usual begini-begini saja ya nanti akan eksponensial terus. Perlu ada keberpihakan anggaran kesehatan yang lebih terukur lagi. Tepat sasaran dan menjawab pertanyaan,” tandasnya.