INDEF Soroti Wacana PPN Sembako: Lebih Lucu dari Srimulat

16 Juni 2021 18:51 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi sayur mayur di pasar Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sayur mayur di pasar Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti wacana pemerintah memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pangan atau sembako.
ADVERTISEMENT
Menurut Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, saling lempar bola antara pemerintah dan DPR menunjukkan tak adanya keseriusan dalam mereformasi sistem perpajakan.
Terlebih lagi, kata Enny, kebijakan tersebut terkesan dipaksakan jika diterapkan dalam kondisi daya beli masyarakat yang masih babak belur imbas pandemi Covid-19.
“DPR sudah mengkonfirmasi belum terima draf tapi pemerintah belum mengklarifikasi draf itu. Namun isinya diklarifikasi, kalau drafnya tidak dari pemerintah kenapa isinya harus diklarifikasi. Ini dagelan lebih lucu dari Srimulat,” kata Enny dalam diskusi bertajuk Reformasi Sistem Perpajakan, Rabu (16/6).
Enny Sri Hartati Foto: Kelik Wahyu/kumparan
Enny menilai, pemerintah seharusnya mengevaluasi terlebih dahulu penyebab anjloknya pendapatan pajak yang hampir terjadi setiap tahunnya, ketimbang langsung melakukan revisi aturan tentang perpajakan.
Soalnya sebelum pandemi COVID-19 merebak pun, kata Enny, DPR sudah pernah menyetujui menggelontorkan anggaran untuk perbaikan database pajak. Dana tersebut menjadi sia-sia melihat perbaikan data tak berdampak pada kenaikan pendapatan pajak pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebelum pandemi, tax rasio sudah rendah hanya 9 persen, padahal sebelumnya sempat menyentuh 13 persen. Maka perlu dibedah dan perlu dirumuskan reformasi perpajakan menjadi problem solving dari kebutuhan,” pungkas Enny.
Rencana kenaikan PPN yang heboh belakangan, tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam Pasal 4A draf RUU KUP, dijelaskan barang kebutuhan pokok serta pertambangan dihapuskan dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 komoditas pangan yang dimaksud yakni beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur serta susu. Termasuk komoditas lain seperti buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu dan gula konsumsi.
ADVERTISEMENT
Selain PPN sembako yang ramai-ramai ditolak, beleid ini juga mengatur pungutan PPN atas produk pertambangan atau pengeboran, hingga sektor pendidikan.