Indonesia Masih Sulit Keluar dari Zona Kelas Menengah

7 Februari 2019 17:46 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masyarakat kelas menengah Jakarta Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat kelas menengah Jakarta Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia telah naik kelas menjadi negara dengan berpendapatan menengah atas jika dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang 2018.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, PDB Indonesia sepanjang tahun lalu sebesar Rp 14.837,4 triliun dan PBD per kapita sebesar Rp 56 juta atau USD 3.927.
Berdasarkan klasifikasi Bank Dunia, suatu negara masuk kategori pendapatan bawah (low income) bila pendapatan per kapita di bawah USD 995, kategori berpendapatan menengah bawah (lower-middle income) bila pendapatan per kapita berkisar USD 955-3.895. Selanjutnya negara masuk kategori pendapatan menengah atas (upper-middle income) bila berpendapatan per kapita antara USD 3.896-12.055. Terakhir, suatu negara masuk kategori berpendapatan tinggi (high income) bila pendapatan per kapita di atas USD 12.055. Meski demikian, Bank Dunia menggunakan konsep Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB) untuk menghitung pendapatan per kapita. Sementara untuk menghitung PNB adalah PDB ditambah dengan pendapatan neto lainnya dari luar negeri.
Jakarta sumpek. Foto: Flickr
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi menuturkan, meski telah naik kelas dari menengah bawah ke menengah atas, namun Indonesia dinilai sulit untuk mencapai kelas berpendapatan tinggi atau dengan kata lain masih terjebak dalam kelas menengah (middle income trap). Berdasarkan penelitian Indef, setidaknya butuh pertumbuhan ekonomi 7,5 persen selama 30 tahun untuk suatu negara keluar dari kelas menengah dan menjadi kelas berpendapatan tinggi. "Ini tantangan ketika berharap ekonomi tumbuh rata-rata 7 persen, nah sekarang ini investment sebagai penggerak pertumbuhan malah alami penurunan. Kalau mau tumbuh di atas 7 persen, katakan 7,5 persen, untuk keluar dari perangkap middle income trap, butuh pertumbuhan investasi berapa," ujar Nawir dalam diskusi di Restoran Rantang Ibu, Jakarta, Kamis (7/2). Lebih lanjut dikatakan, bahkan untuk Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen saja memerlukan peningkatan investasi 14 persen. Sementara untuk mencapai ekonomi tumbuh 7,5 persen, investasi setidaknya harus tumbuh 43 persen. Sepanjang 2018, laju Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi hanya 6,67 persen, sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 6,15 persen. "Apalagi kalau mau genjot pertumbuhan ekonomi 7,5 persen, kita butuh 43 persen investasi. Ini bukan kerjaan ringan, ini pekerjaan berat," jelasnya. Untuk mendorong investasi, hal utama yang semestinya bisa dilakukan pemerintah adalah memperbaiki efisiensi investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
Aktivitas warga di CFD Jakarta Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
ICOR secara umum didefinisikan sebagai besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Besaran ICOR ini didapatkan dengan membandingkan tambahan kapital dengan tambahan output. Nilai ICOR yang efisien secara umum berada di kisaran 3-4 persen, yang artinya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) 1 persen di suatu negara, dibutuhkan tambahan investasi hingga 3-4 persen. Nilai ICOR yang semakin kecil mengindikasikan terjadinya efisiensi dalam proses investasi, sebaliknya nilai ICOR yang membesar menggambarkan tingginya inefisiensi investasi. ICOR Indonesia pada 2016 sebesar 6,46 persen, menurun dibandingkan tahun sebelumnya 6,64 persen. Ini masih tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Myanmar, Malaysia, dan Singapura yang berada di kisaran angka ideal sebesar 3 persen.
INDEF Diskusi Perekonomian RI Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
ADVERTISEMENT
"Kenapa investasi tidak efisien? Karena starting business-nya yang belum terlalu efektif, meski EODB nya membaik. Tapi ada perlambatan FDI sejak kuartal I 2017," katanya. Untuk memperbaiki kemudahan berbisnis dan efisiensi investasi, beberapa hal juga harus dilakukan pemerintah. Seperti menghilangkan korupsi yang masih menjadi masalah utama investasi. "Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Dunia tahun lalu, korupsi menjadi masalah utama dalam menjalankan bisinis, demikian juga dengan birokrasi pemerintahan, meski faktor yang satu ini mengalami penurunan, access to financing cukup penting untuk diperhatikan," tambahnya.